Tanya:
Namo Buddhaya,
Setahu saya, pernikahan dalam Agama Buddha belum dianggap valid jika tidak memiliki surat keterangan dari catatan sipil setempat. Apakah dalam Agama Buddha sejak zaman Sang Buddha dalam hal pernikahan juga harus ada suatu surat untuk mengesahkan kedua mempelai?
Salam Dalam Dhamma,
Rusidi Sukatam Jaya, Jakarta Pusat
Jawaban dari Samaggi Phala (Y.M. Uttamo Thera) dan Dhamma Study Group Bogor (Sdr. Selamat Rodjali):
Namo Buddhaya,
Agama Buddha melihat pernikahan bukan dari sudut upacaranya, melainkan dari pemenuhan hak dan kewajiban pihak pria dan wanita.
Dalam Sigalovada Sutta (Digha Nikaya III, 188) disebutkan bahwa:
Tugas suami:
Tugas istri:
Dengan demikian, apabila sepasang pria dan wanita telah memenuhi hak dan kewajibannya, maka sesungguhnya dia telah resmi sebagai pasangan hidup. Namun, Dhamma juga memperhatikan peraturan pemerintah dan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini, masalah perkawinan. Oleh karena itu, di tempat yang membutuhkan legalisasi pemerintah untuk meresmikan pasangan, misalnya melalui lembaga Catatan Sipil, maka para umat Buddha hendaknya mematuhi peraturan pemerintah tersebut.
Sdr. Rusidi yang baik, di Tipitaka tidak pernah diceritakan tentang surat kawin. Yang jelas di Aganna Sutta, sejarah perkawinan manusia, tidak pakai surat kawin, tapi dilempari dengan (maaf) 'tahi kerbau' oleh masyarakat. Kini dilempari dengan bunga dan uang (disawer).
Semoga bermanfaat.
Semoga semua mahluk berbahagia.
12 years ago
0 Comment:
Post a Comment