Loading...

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, July 7, 2011

CULLAKA-SEṬṬHI-JATAKA

CULLAKA-SEṬṬHI-JATAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[114] “Dimulai dengan kerendahan hati,” dan seterusnya. Kisah mengenai seorang thera yang bernama Cūḷapanthaka ini diceritakan oleh Bhagawan ketika Beliau sedang berada di hutan mangga milik Jīvaka 17 , di dekat Rājagaha. Terdapat sedikit penjelasan mengenai kelahiran Cūḷapanthaka. Dikisahkan, anak perempuan dari seorang saudagar kaya di Rājagaha telah menurunkan martabatnya, menjalin hubungan dengan pelayan lelakinya. Karena khawatir kelakuan buruknya terbongkar, ia berkata kepada pelayan lelakinya, “Kita tidak bisa tinggal di sini lagi, jika sampai orang tuaku mengetahui kesalahan yang telah kita lakukan, mereka akan mencabik tubuh kita. Mari kita pergi dan menetap di tempat yang jauh.” Dengan membawa harta benda, mereka menyelinap keluar dari pintu rumah tersebut dan melarikan diri, mereka tidak peduli bagaimana mereka mendapatkan tempat berlindung yang aman tanpa sepengetahuan sanak keluarga gadis itu. Kemudian mereka menetap di suatu tempat, hingga akhirnya gadis itu mengandung. Ketika waktu untuk melahirkan telah dekat, ia berkata kepada suaminya, “Akan banyak kesulitan bagi kita jika saya melahirkan jauh dari sanak keluarga dan kenalan. Lebih baik kita pulang ke rumah.” Pada awalnya sang suami setuju untuk berangkat hari itu juga, tetapi kemudian ia menunda hingga keesokan harinya. Ia mengulur-ulur waktu hingga hari terus berlalu. Akhirnya putri saudagar itu berpikir, “Si dungu ini menyadari kesalahan besarnya sehingga tidak berani pulang. Orang tua adalah sahabat terbaik bagi anaknya; walaupun ia pergi atau tidak, saya tetap akan pergi.” Saat suaminya sedang tidak berada di rumah, ia membereskan pekerjaan rumahnya, setelah menitipkan pesan kepada tetangganya kemana ia pergi, ia pun meninggalkan rumah. Saat suaminya pulang ke rumah dan tidak menemukan istrinya, ia mendapat kabar dari tetangganya bahwa istrinya telah pulang ke rumah orang tuanya. Ia segera menyusul istrinya, dan menemukannya di tengah perjalanan, di saat dan di tempat itu juga, sang istri melahirkan.
“Apa yang terjadi, istriku?” tanyanya.
“Saya telah melahirkan seorang bayi laki-laki, Suamiku,” jawab istrinya.
Setelah melahirkan, tidak ada lagi alasan baginya untuk meneruskan perjalanan. Mereka kembali ke rumah. Karena anak itu lahir di tengah perjalanan, mereka menamainya ‘Panthaka’.
[115] Selang beberapa waktu, wanita ini mengandung lagi, dan segalanya terulang kembali. Karena anak kedua ini juga lahir di tengah jalan, mereka juga memberinya nama ‘Panthaka’. Untuk membedakan kedua anak itu, anak pertama dipanggil ‘Mahāpanthaka’ dan adiknya dipanggil ‘Cūḷapanthaka’. Kali ini, dengan dua anak, mereka kembali ke rumah.
Saat menetap di tempat itu, anak mereka mendengar cerita anak yang lain tentang paman, kakek dan nenek mereka; maka ia bertanya pada ibunya apakah mereka tidak mempunyai sanak keluarga seperti yang dimiliki oleh anak-anak lain. “Tentu ada, Sayang,” jawab ibunya, “Namun mereka tidak tinggal di sini”. Kakekmu adalah seorang saudagar yang sangat kaya di Rājagaha, ada banyak kerabatmu di sana.” “Mengapa kita tidak pergi ke sana, Bu?” Ia menceritakan alasan mengapa mereka tinggal jauh dari keluarganya. Tetapi karena anak-anak selalu membicarakan hal itu, ia bertanya pada suaminya, “Anak-anak selalu menanyakan masalah sanak keluarga yang tidak pernah mereka temui. Apakah orang tuaku begitu melihat, akan menelan kita? Marilah kita tunjukkan pada anak-anak keberadaan keluarga kakek mereka.” “Baiklah, saya tidak keberatan untuk membawa mereka ke sana; namun saya benar-benar tidak berani menemui kedua orang tuamu.” “Tidak masalah. ‒ Dengan menempuh cara apapun, asalkan anak-anak bisa mengunjungi keluarga kakek mereka,” kata wanita itu.
Mereka membawa kedua anak mereka ke Rājagaha, menginap di sebuah penginapan umum dekat pintu masuk kota. Bersama dengan kedua anaknya, wanita itu menyampaikan kedatangan mereka kepada orang tuanya. Mendengar berita itu, orang tuanya berkata, “Benar, sangat aneh rasanya jika tidak mempunyai anak kecuali jika seseorang telah meninggalkan keduniawian untuk mencapai tingkat kesucian Arahat. Namun, kami tidak sudi menerima kunjungan mereka atas kesalahan besar yang mereka lakukan terhadap kami. Berikan uang ini kepada mereka, minta mereka mengambil uang ini dan hidup di tempat yang mereka inginkan. Tetapi berikan kedua anak itu kepada kami.” Putri saudagar itu mengambil uang yang diberikan kepadanya dan mengirim anak-anaknya melalui utusan orang tuanya. Kedua anak itu tumbuh dewasa di rumah kakek mereka. Saat Cūḷapanthaka masih kecil, Mahāpanthaka selalu mengikuti kakeknya mendengarkan khotbah yang dibabarkan oleh Buddha. Karena selalu mendengarkan Dhamma yang disampaikan oleh Buddha sendiri, hati anak muda itu dipenuhi hasrat untuk meninggalkan keduniawian untuk menempuh kehidupan sebagai seorang bhikkhu.
“Dengan persetujuanmu, Kek,” Mahāpanthaka berkata pada kakeknya, “saya akan menjadi seorang bhikkhu.” “Benarkah apa yang saya dengar?” seru kakeknya. “Sungguh lebih besar kebahagiaanku melihat engkau menjadi bhikkhu daripada melihat seisi dunia menjadi bhikkhu. Jadilah seorang bhikkhu jika engkau memang mampu.” Saudagar itu sendiri yang membawa cucunya menghadap Sang Guru.
“Baiklah, Saudagar,” kata Sang Guru, “apakah engkau membawa serta cucumu bersamamu?” “Ya, Bhante, ia adalah cucu saya, yang berkeinginan menjadi bhikkhu.” [116] Sang Guru meminta seorang anggota Sanggha untuk menerima anak itu bergabung dalam Sanggha, anggota Sanggha tersebut mengulang Hukum Ketidakkekalan 18 dan menerima anak tersebut menjadi seorang samanera. Saat khotbah Buddha telah banyak meresap dalam ingatannya dan telah cukup dewasa, ia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Ia berlatih dengan kesungguhan hingga berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat, dan ketika menikmati kebahagiaan pencapaian Jalan dan Buah kesucian maupun jhana (jhāna), ia berpikir untuk berbagi kebahagiaan ini dengan Cūḷapanthaka. Maka ia mengunjungi kakeknya, saudagar kaya itu, dan berkata, “Saudagar yang baik, dengan persetujuanmu, saya akan menerima Cūḷapanthaka menjadi anggota Sanggha.” “Saya telah mengharapkan hal itu, Bhante,” jawab sang kakek.
Maka Thera itu menerima Cūḷapanthaka dan memintanya melaksanakan Dasa Sila. Namun Cūḷapanthaka sangat dungu. Walaupun telah belajar selama empat bulan, ia masih belum dapat menghafal syair berikut ini: —
Lihatlah! Laksana sekuntum teratai
yang wangi di waktu fajar;
tertiup oleh angin, menebar semerbak wangi yang murni.
Memandang keagungan Buddha yang terus terpancar;
seperti cahaya matahari bersinar di
bawah naungan langit!
Dikisahkan, pada masa kelahiran Buddha Kassapa, Cūḷapanthaka yang pada masa itu merupakan seorang bhikkhu yang berpengetahuan, mencemooh dengan menertawai seorang bhikkhu dungu yang sedang meresapi satu cerita pendek dalam ingatan. Cemoohannya sungguh mengenai sasaran sehingga bhikkhu tersebut tidak mampu mengingat maupun mengulang cerita pendek itu. Akibatnya, di kehidupan ini, saat ia bergabung menjadi anggota Sanggha, ia sendiri menjadi bhikkhu yang dungu. Setiap ia mengingat satu baris syair yang baru, baris lain yang telah dihafalnya terlupakan. Setelah empat bulan berlalu semenjak ia mulai bergelut merapal syair itu, Mahāpanthaka berkata kepadanya, “Panthaka, engkau tidak sanggup menerima ajaran ini. Selama empat bulan, engkau bahkan tidak mampu meresapi sebuah syair tunggal dalam ingatan. Bagaimana engkau bisa mencapai kebahagiaan sejati dengan cara ini? Tinggalkanlah wihara ini.” Walaupun telah diusir oleh saudaranya, Cūḷapanthaka masih berkeyakinan pada ajaran Buddha sehingga tidak ingin menjadi umat awam.
Pada saat Mahāpanthaka bertugas mengurus pembagian makanan bhikkhu Sanggha, Jīvaka Komārabhacca datang ke hutan mangga miliknya dengan membawa sejumlah wewangian dan bunga untuk Sang Guru. Setelah mempersembahkan barang-barang yang dibawanya dan telah selesai mendengarkan khotbah Dhamma; ia bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan kepada Buddha, kemudian menghampiri Mahāpanthaka dan bertanya, “Bhante, berapakah jumlah semua bhikkhu yang berada di sini termasuk Sang Guru?” “Hanya lima ratus orang, Tuan.” “Bersediakah Bhante membawa kelima ratus bhikkhu tersebut bersama Buddha sebagai pemimpin, menghadiri jamuan makan di rumah saya besok?” “Tuan, salah seorang bhikkhu bernama Cūḷapanthaka sangat dungu dan tidak berkembang dalam Dhamma,” kata sang thera, “jadi saya menerima undangan untuk semua bhikkhu, kecuali untuknya.”
[117] Mendengar hal itu, Cūḷapanthaka berpikir, “Dalam menerima undangan jamuan makan untuk semua bhikkhu, thera itu dengan saksama mengecualikannya untuk saya. Hal ini membuktikan sudah tidak ada lagi kasih sayang saudaraku kepada saya. Apa yang harus saya lakukan dengan Dhamma ini? Saya akan menjadi umat awam, melatih kemurahan hati dan perbuatan baik lainnya sebagai sosok perumah tangga.” Keesokan pagi hari, ia pergi untuk seterusnya kembali menjalani kehidupan sebagai perumah tangga.
Pada saat fajar menyingsing, Sang Guru yang sedang mengamati kejadian di dunia ini, mengetahui hal tersebut. Beliau berangkat lebih pagi, berjalan hilir mudik di jalan dekat beranda bilik Cūḷapanthaka. Ketika Cūḷapanthaka keluar dari biliknya, ia melihat Sang Guru, dengan penuh hormat ia menghampiri Beliau. “Akan kemanakah engkau pergi sepagi ini, Cūḷapanthaka?” tanya Sang Guru.
“Saudara saya telah mengusir saya dari Sanggha; saya akan pergi mengembara, Bhante.”
“Cūḷapanthaka, engkau mengambil sumpah kepada saya. Mengapa engkau tidak datang pada saya saat engkau diusir oleh saudaramu? Apa yang akan engkau lakukan dengan hidup sebagai perumah tangga? Engkau seharusnya tinggal bersama saya.” Setelah mengucapkan hal itu, Beliau membawa Cūḷapanthaka dan mempersilakan ia duduk di depan pintu kamar-Nya yang wangi (gandhakuṭi). Sang Guru memberi Cūḷapanthaka sepotong kain yang sangat bersih, yang tercipta dari kekuatan gaib-Nya dan berkata, “Hadaplah ke arah Timur, sambil memegang kain ini, ulangi kata-kata — ‘Bersihkan kotoran; Bersihkan kotoran’.” Pada waktu yang telah dijanjikan, Sang Guru disertai dengan para bhikkhu pergi ke rumah Jīvaka, dan duduk di tempat yang telah disediakan untuk-Nya.
Pada saat itu, Cūḷapanthaka menatap ke arah matahari, duduk dan memegang potongan kain itu sambil mengulangi kata, “Bersihkan kotoran; Bersihkan kotoran.” Karena dipegang terus menerus, kain itu menjadi kumal. Melihat itu, ia berpikir, “Kain ini tadinya putih bersih; saya telah mengubah keadaan semula sehingga menjadi kotor. Semua benda adalah tidak kekal adanya.” Saat menyadari tentang Kematian dan Kehancuran, ia mencapai pencerahan. Mengetahui bahwa Cūḷapanthaka telah mencapai pengetahuan menuju Kearahatan, Sang Guru mengirimkan sosok jelmaannya ke hadapan Cūḷapanthaka, sosok jelmaan Beliau duduk dan berkata, “Sudahkah engkau sadari, Cūḷapanthaka, bahwa secarik kain ini menjadi kotor dan penuh noda. Dirimu juga dipenuhi oleh nafsu keinginan dan pikiran-pikiran jahat lainnya. Bersihkanlah semua itu.” Kemudian penjelmaan Beliau mengulangi syair berikut ini: —
Bukan kotoran, melainkan kotoran batin
berupa nafsu keinginan;
nafsu keinginanlah kotoran batin yang sebenarnya.
Wahai Bhikkhu, ia yang mampu menyingkirkannya;
akan hidup dalam kemurnian batin.
[118] Bukan kotoran, melainkan kotoran batin
berupa kebencian;
kebencianlah kotoran batin yang sebenarnya.
Wahai Bhikkhu, ia yang mampu menyingkirkannya;
akan hidup dalam kemurnian batin.
Bukan kotoran, melainkan kotoran batin berupa kegelapan batin;
kegelapan batin merupakan kotoran batin yang sebenarnya
Wahai Bhikkhu, ia yang mampu menyingkirkannya;
akan hidup dalam kemurnian batin.
Saat syair itu selesai diucapkan, Cūḷapanthaka mencapai tingkat kesucian Arahat dengan empat pengetahuan analitik19, langsung memperoleh pemahaman terhadap keseluruhan kitab suci. Menurut cerita yang beredar secara turun temurun, di masa lampau saat menjadi seorang raja, ketika sedang mengelilingi kota dalam suatu prosesi yang khidmat, ia menyeka keringat di keningnya menggunakan kain bersih yang sedang dipakainya; kain itu menjadi kotor. Ia berpikir, “Badan jasmani ini telah menghancurkan kemurnian sejati dan kain putih ini, saya telah mengotorinya. Semua benda adalah tidak kekal adanya.” Saat ia merenungkan tentang ketidakkekalan, terlintas di pikiran bahwa dengan membersihkan kotoran batinlah yang akan membebaskannya.
Saat Jīvaka Komārabhacca memberikan persembahan air20, Sang Guru meletakkan tangannya di atas bejana air itu, dan bertanya, “Masih adakah bhikkhu di wihara, Jīvaka?”
Mahāpanthaka berkata, “Tidak ada lagi bhikkhu di sana, Bhante.” “Masih ada para bhikkhu di wihara, Jīvaka,” kata Sang Guru. “Wahai kamu yang di sana,” kata Jīvaka kepada pelayannya, “pergi dan lihat apakah masih ada bhikkhu di wihara.”
Saat Cūḷapanthaka mengetahui saudaranya mengatakan tidak ada lagi bhikkhu di wihara, ia memutuskan untuk menunjukkan pada saudaranya bahwa masih ada bhikkhu di wihara, ia memenuhi hutan mangga itu dengan para bhikkhu. Ada yang sedang membuat jubah; ada yang sedang mencelup jubah; sementara yang lain sedang membaca paritta: —Ia menciptakan seribu orang bhikkhu dengan rupa yang berbeda satu sama lain. Melihat kumpulan bhikkhu di wihara, pelayan itu kembali ke rumah Jīvaka dan mengabarkan bahwa wihara dipenuhi oleh para bhikkhu.
Untuk menghormati Thera yang berada di wihara — Panthaka, dengan seribu orang wujud jelmaannya; duduk menunggu, hingga dijemput, di hutan yang menyenangkan itu.
“Sekarang kembalilah ke wihara,” kata Sang Guru kepada pelayan itu, “katakan, Guru mengirimku untuk menjemput bhikkhu yang bernama Cūḷapanthaka.”
Saat pelayan tersebut menyatakan hal itu, mereka menjawab secara bersamaan, “Saya adalah Cūḷapanthaka! Saya adalah Cūḷapanthaka!”
Pelayan itu kembali lagi dan mengatakan, “Mereka semua mengaku sebagai ‘Bhikkhu Cūḷapanthaka’, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, kembali lagi ke sana,” kata Sang Guru, “pegang tangan bhikkhu pertama yang mengatakan ia adalah Cūḷapanthaka, [119] maka bhikkhu yang lain akan menghilang.” Pelayan itu mengikuti perkataan Sang Guru, seketika itu juga seribu bhikkhu yang diciptakan oleh Cūḷapanthaka lenyap dari pandangannya.
Saat jamuan makan selesai, Sang Guru berkata, “Jīvaka, ambil patta Cūḷapanthaka, ia akan menyampaikan terima kasih.” Jīvaka melakukan apa yang diminta Sang Guru. Laksana raungan tantangan seekor singa muda, bhikkhu itu menguncarkan paritta-paritta suci sebagai ungkapan terima kasih. Setelah selesai, Sang Guru kembali ke wihara setelah bangkit dari tempat duduknya dan diikuti oleh para bhikkhu. Setelah pembagian tugas oleh bhikkhu Sanggha, Beliau bangkit dari tempat duduknya, berdiri di ambang pintu kamar-Nya yang wangi, membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu. Diakhiri dengan pemberian objek perenungan meditasi kepada para bhikkhu, Beliau kemudian membubarkan para Sanggha yang berkumpul di sana, masuk ke dalam kamar-Nya yang wangi dan berbaring beristirahat, laksana seekor singa pada sisi kanan tubuh-Nya.
Pada saat yang sama, para bhikkhu yang memakai jubah jingga dari seluruh penjuru berkumpul di Balai Kebenaran dan memanjatkan pujian pada Sang Guru, seolah-olah mereka membentangkan tirai kain jingga mengelilingi Beliau pada saat mereka duduk.
“Awuso,” mereka berkata, “Mahāpanthaka gagal mengenali kemampuan Cūḷapanthaka. Ia mengusir saudaranya dari wihara karena si dungu tidak mampu menghafal sebuah syair tunggal dalam waktu empat bulan. Melalui Buddha Yang Mahatahu, dengan kesempurnaan Dhamma yang diajarkan-Nya, Cūḷapanthaka mencapai tingkat kesucian Arahat dengan semua pengetahuan gaibnya, bahkan pada saat sebuah jamuan makan berlangsung. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, ia menguasai semua paritta suci. Oh! Betapa hebatnya kekuatan yang dimiliki oleh Buddha.”
Bhagawan, mengetahui semua percakapan yang terjadi di Balai Kebenaran dan berpikir untuk bergabung bersama mereka. Maka ia bangkit dari tempat berbaringnya, mengenakan kedua jubah dasarnya, mempersiapkan diri dengan cepat, dan memakai jubah jingganya, jubah seorang Buddha yang lebar. Kemudian Beliau pergi ke Balai Kebenaran dengan keagungan yang tiada tara dari seorang Buddha, Beliau melangkah laksana seekor gajah istana yang penuh semangat. Menaiki singgasana yang berada di tengah-tengah Balai Kebenaran, lalu duduk di tengah singgasana tersebut, memancarkan enam warna cahaya yang menandai seorang Buddha — laksana cahaya matahari yang baru terbit dari puncak Pegunungan YuGandhāra, menerangi hingga samudra terdalam. Begitu Yang Mahatahu memasuki Balai Kebenaran, para bhikkhu menghentikan pembicaraan mereka dan terdiam. Sambil menatap dengan penuh cinta kasih kepada para bhikkhu, Sang Guru berpikir, “Kumpulan ini sangat sempurna. Tidak ada seorang pun yang salah meletakkan tangan maupun kakinya; tidak ada suara, baik suara batuk maupun bersin yang terdengar. Dalam penghormatan dan kekaguman atas keagungan dan kemuliaan Buddha, tidak ada orang yang berani bersuara sebelum Saya angkat bicara, bahkan jika Saya duduk diam di sini sepanjang hidup Saya. Namun ini adalah saat bagi untuk berbicara; Saya akan memulai percakapan ini.” Dengan suara yang sangat merdu, Beliau menyapa para bhikkhu dan berkata,[120] “Apa topik pertemuan ini? Tentang apakah percakapan yang terhenti tadi?” “Bhante,” jawab mereka, “tidak ada pembicaraan yang tidak berguna. Kami sedang membicarakan tentang tindakan Anda yang sangat terpuji.”
Setelah mereka menyampaikan apa yang sedang mereka bicarakan, kata demi kata, Sang Guru berkata, “Para Bhikkhu, berkat bantuanku Cūḷapanthaka berkembang pesat dalam keyakinan; sebagaimana halnya di masa lampau ia memperoleh kekayaan besar juga berkat bantuan yang kuberikan.”
Para bhikkhu memohon Sang Guru menjelaskan maksud perkataan itu; Beliau kemudian menjelaskan hal yang selama ini tidak mereka ketahui dikarenakan kelahiran kembali:
____________________
Suatu ketika di masa lampau, Brahmadatta memerintah di Benares, Negeri Kāsi; Bodhisatta terlahir di keluarga bendaharawan (bhaṇḍāgārika). Ia tumbuh dewasa menjadi seorang bendaharawan yang terkenal dengan sebutan Cullakaseṭṭhi. Ia adalah orang yang bijaksana dan pintar, sangat cermat dalam mengamati tanda-tanda dan gelagat-gelagat. Suatu hari, dalam perjalanan untuk menyambut raja, ia melihat bangkai seekor tikus di tengah jalan; sambil memperhatikan posisi bintang pada saat itu ia berkata, “Cukup dengan memungut tikus ini, siapapun dengan kecerdikannya, memiliki kemungkinan untuk memulai usahanya dan menghidupi seorang istri.”
Ucapannya terdengar oleh seorang pemuda dari keluarga baik-baik yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Pemuda itu bergumam pada dirinya sendiri, “Ia adalah orang yang hanya berbicara jika ada alasan di balik itu.” Menuruti perkataan bendaharawan itu, ia memungut bangkai tikus, lalu menjualnya dengan harga seperempat sen ke sebuah kedai untuk dijadikan makanan bagi kucing di sana.
Dengan uang itu, ia membeli sirup gula dan membawa air minum dalam sebuah kendi. Ia mencari para pemetik bunga yang baru pulang dari hutan, memberikan sedikit sirup gula dan menyendokkan air minum untuk mereka. Setiap orang memberikan seikat bunga kepadanya. Dengan hasil itu, keesokan harinya, ia mengunjungi para pemetik bunga lagi, membawa sirup dan air minum yang lebih banyak dari sebelumnya. Sebelum mereka pergi pada hari itu, para pemetik bunga memberinya tanaman bunga dengan sebagian bunga masih berada di batangnya; dalam waktu singkat ia telah mendapatkan delapan sen.
Beberapa waktu kemudian, saat hari hujan dan berangin, angin merobohkan sebagian cabang yang telah busuk, ranting dan daun ke taman peristirahatan raja. Tukang kebun istana tidak tahu bagaimana cara membersihkan tempat itu. [121] Pemuda itu muncul dan menawarkan diri membersihkan tempat itu jika ia boleh mengambil ranting dan daun tersebut. Tukang kebun menyetujui hal itu. Kemudian siswa Cullakaseṭṭhi ini mulai membersihkan taman bermain anak-anak. Dalam waktu yang singkat, ia berhasil membuat anak-anak membantunya memungut setiap ranting dan daun yang ada di tempat itu dan menumpuknya di dekat pintu masuk dengan memberi mereka sirup gula. Di saat yang sama, pembuat tembikar kerajaan sedang mencari bahan bakar untuk membuat mangkuk kerajaan. Ia melihat tumpukan kayu itu dan membeli semua kayu-kayu tersebut. Penjualan kayu itu memberikan enam belas sen kepada siswa Cullakaseṭṭhi, ditambah lima buah mangkuk dan bejana. Dengan dua puluh empat sen di tangan, sebuah rencana terpikirkan olehnya. Ia pergi ke arah gerbang kota, membawa kendi air dan menyiapkan minuman untuk lima ratus orang pemotong rumput. Mereka berkata, “Kamu telah berjasa pada kami. Apa yang bisa kami lakukan untukmu?” “Oh, akan saya katakan saat saya membutuhkan pertolongan kalian.” Sewaktu meninggalkan tempat itu, ia menjalin persahabatan dengan seorang pedagang yang melakukan jual beli di daratan dan seorang pedagang yang melakukan jual beli di lautan. Pedagang daratan itu berkata padanya, “Besok, akan datang seorang pedagang kuda ke kota ini dengan membawa lima ratus ekor kuda untuk dijual.” Mendengar berita itu, ia berkata kepada para pemotong rumput, “Saya minta masing-masing dari kalian memberikan seikat rumput padaku hari ini, dan jangan menjual rumput yang kalian miliki sebelum rumput saya habis terjual.” “Baiklah,” jawab mereka, lalu mengirim lima ratus ikat rumput ke rumahnya. Karena tidak bisa mendapatkan rumput untuk kudanya, pedagang kuda itu membeli rumput yang dijual oleh teman kita seharga seribu keping. Beberapa hari kemudian, setelah temannya yang melakukan jual beli di lautan menyampaikan kabar akan kedatangan sebuah kapal besar di dermaga, sebuah rencana lain terpikirkan olehnya. Dengan delapan sen, ia menyewa sebuah kereta kuda yang disewakan dengan hitungan per jam, kemudian bergerak maju dengan penuh gaya ke dermaga. Setelah membeli kapal itu secara kredit dengan memberikan cincin stempelnya sebagai jaminan, ia menempati sebuah paviliun yang susah diberi izin masuk sebagai pangkalan. Saat hendak masuk ke dalam untuk duduk, ia berpesan kepada pelayannya, “Saat para saudagar muncul, biarkan mereka melalui tiga penerima tamu secara berturut-turut sebelum menemuiku.” [122] Mendengar berita bahwa sebuah kapal besar telah berlabuh di dermaga, sekitar seratus orang saudagar datang untuk membeli muatan kapal itu; namun mereka diberitahukan bahwa seorang saudagar yang sangat kaya telah membeli kapal itu. Mereka mendatangi pemuda tersebut, pelayan itu melaksanakan apa yang dipesankan oleh pemuda itu, mereka melewati tiga penerima tamu secara berturut-turut, seperti yang telah diatur. Masing-masing dari seratus saudagar itu memberikan seribu keping uang kepadanya untuk mendapatkan hak kepemilikan kapal, dan tambahan seribu keping per orang untuk membeli bagiannya. Secara keseluruhan, ia membawa dua ratus ribu keping uang saat kembali ke Benares.
Didorong oleh keinginan untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, pemuda itu mengunjungi ‘Cullakaseṭṭhi’ dengan membawa seratus ribu keping uang. “Bagaimana cara kamu menjadi begitu kaya?” tanya bendaharawan itu. “Dalam empat bulan yang singkat ini, dengan mengikuti petunjuk yang Anda berikan,” jawab pemuda itu. Kemudian ia menceritakan kejadian itu secara lengkap, dimulai dengan bangkai tikus itu. Mendengar cerita itu, Cullakaseṭṭhi berpikir, “Saya harus memastikan anak muda ini tidak jatuh ke tangan orang lain.” Maka ia menikahkan pemuda ini dengan putrinya dan menyerahkan semua harta warisan keluarganya pada pemuda ini. Saat bendaharawan itu meninggal, ia mengambil alih jabatannya. Bodhisatta meninggal dan terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang ia perbuat.
_____________________
[123] Saat uraian itu berakhir, Buddha, Yang Mahatahu, mengulangi syair ini: —
Dimulai dari kerendahan hati dan modal kecil;
ia yang cerdik dan cakap dapat menambah kekayaan
bahkan hembusan nafasnya seakan dapat menjaga nyala api kecil.
Bhagawan juga berkata, “Wahai Bhikkhu, berkat bantuanku Cūḷapanthaka berkembang pesat dalam keyakinan; sebagaimana halnya di masa lampau ia memperoleh kekayaan besar.” Setelah selesai bertutur, Sang Guru mempertautkan kedua kisah kelahiran itu, dan memperkenalkan tentang kelahiran itu dengan ringkasan kata-kata berikut ini, “Cūḷapanthaka adalah siswa dari Cullakaseṭṭhi di masa itu, dan Saya sendiri adalah Cullakaseṭṭhi.”
[Catatan : Kisah perkenalan ini terdapat di Bab VI Buddhaghosha’s Parables karya Capt.T.Rogers, namun ‘Kisah Masa Lampau’ yang diberikan disana sangat berbeda. Lihat ‘Women Leaders of the Buddhist Reformation’ karya Mrs.Bode di J.R.A.S.1893, hal.556. Lihat juga Dhammapada, hal.181, dan bandingkan Bab XXXV. Divyāvadāna, yang diedit oleh Cowell dan Neil, 1886. Keseluruhan Jātaka itu, dalam bentuk singkat, membentuk cerita ‘The Mouse Merchant’ pada hal.33,34 dari volume pertama Kathā Sarit Sāgara yang diterjemahkan oleh Tawney. Lihat juga Kalilah and Dimnah, Bab XVIII. (Knatchbull, hal.358).]
Catatan kaki :
17 Jīvaka adalah seorang umat awam siswa Buddha yang terkemuka, ia merupakan tabib Raja Seniya Bimbisāra dari Magadha. Keterangan mengenai Jīvaka dapat dilihat di Vinaya (Mahavagga VIII, 1).
18 Ajaran Buddha mengajarkan tentang ketidakkekalan dari semua benda, dan latihan utama pikiran untuk memahami ajaran ini adalah dengan melakukan perenungan terhadap badan jasmani beserta ketiga puluh dua kejijikan terhadap badan jasmani (Lihat Sutta Nipāta I.11, dan catatan dari Jātaka Kedua belas). Dewasa ini, semua samanera di Sri Lanka mengucapkan satu per satu, ketiga puluh dua kejijikan terhadap badan jasmani saat menjalankan upacara upasampada.
19 Keempat pengetahuan analitik tersebut adalah (i) pengetahuan tentang makna kitab-kitab suci,(ii) pengetahuan tentang kebenaran moral, (iii) pengetahuan tentang analisis tatabahasa, logika dan sebagainya ; dan (iv) pengetahuan tentang kecakapan berbicara (ketangkasan).
20 Setelah persembahan diberikan, penderma menuangkan air ke tangan penerima derma. Persembahan yang diberikan Jīvaka adalah makanan untuk anggota Sanggha, seperti yang dijelaskan di Milinda-pañho (hal 118) mengenai cerita ini dalam versinya sendiri.

DEVADHAMMA-JĀTAKA

DEVADHAMMA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Barang siapa seperti dewa yang sebenarnya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Bhagawan di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang kaya.
Dikisahkan, setelah kematian istrinya, seorang pengawal Sawatthi bergabung menjadi anggota Sanggha. Pada saat ia bergabung, ia membangun sebuah bilik dengan ruang perapian dan gudang persediaan, menumpuk persediaan gi (mentega cair), beras dan lainnya. Bahkan setelah menjadi seorang bhikkhu, ia selalu meminta pelayannya memasakkan makanan yang disukainya. Ia selalu berlimpah dalam penyediaan kebutuhannya 25 , jubah lengkap pengganti untuk malam dan keesokan paginya; dan tinggal jauh di pinggiran wihara.
Suatu hari, saat sedang mengeluarkan jubah dan alas tidurnya untuk dijemur di luar biliknya, sejumlah bhikkhu dari desa yang sedang melakukan pindapata dari wihara ke wihara26, tiba dalam perjalanan mereka ke biliknya dan melihat semua harta bendanya.
“Milik siapakah barang-barang ini?” tanya mereka. “Milikku, Bhante,” jawabnya. “Apa?” seru mereka, “Jubah atas ini dan itu; jubah dalam ini dan itu; dan alas tidur itu juga — semua kepunyaanmu?” “Ya, semuanya adalah milikku.” “Bhante,” kata mereka, “Bhagawan hanya mengizinkan tiga potong jubah; dan bagaimanapun, Bhagawan, yang ajaran-Nya engkau jalankan, hidup sangat sederhana dalam berkeinginan, sementara engkau menimbun sejumlah besar persediaan. Mari, kami harus membawamu menghadap Bhagawan.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, mereka membawanya menemui Bhagawan.
Bhagawan yang mengetahui kedatangan mereka berkata, [127] “Wahai Bhikkhu, mengapa kalian membawa seorang bhikkhu yang datang bukan atas kehendaknya.” “Bhante, bhikkhu ini hidup serba berkecukupan dan menimbun persediaan dalam jumlah besar.” “Wahai Bhikkhu, benarkah seperti yang mereka katakan, engkau hidup berkecukupan?” “Benar, Bhagawan.” “Mengapa, Bhikkhu, engkau menimbun harta benda ini? Tidakkah Bhagawan memuji kebajikan dengan sedikit berkeinginan, merasa puas, dan lainnya, hidup menyendiri dan penuh ketekunan?”
Merasa marah mendengar perkataan Bhagawan, ia berkata, “Kalau begitu, mulai saat ini saya akan bertindak dengan cara seperti ini!” Ia berdiri di tengah-tengah para bhikkhu, menanggalkan jubah luarnya dan hanya mengenakan pakaian sebatas pinggang.
Untuk memberikan dukungan moral kepadanya, Sang Guru berkata, “Wahai Bhikkhu, bukankah engkau di kelahiran lampau menjaga rasa malu dan takut berbuat jahat, bahkan di saat engkau terlahir sebagai siluman air yang hidup selama dua belas tahun, tetap menjaga rasa malu dan takut berbuat jahat. Bagaimana engkau bisa, setelah mengucapkan janji untuk memenuhi satu permintaan ratu sebagai anugerah untuk bayi tersebut. Namun ratu menyatakan bahwa ia akan meminta janji tersebut jika waktunya telah tiba. Setelah Pangeran Matahari dewasa, ratu berkata pada raja, “Paduka, saat Pangeran Matahari lahir, engkau menganugerahkan satu permohonan padaku untuk kepentingannya. Maka, jadikanlah ia raja.”
“Tidak bisa,” jawab raja, “masih ada dua pangeran lain yang bersinar laksana cahaya api; saya tidak bisa menyerahkan kerajaan ini pada putramu.” Namun, melihat ratu tidak pernah menyerah terhadap penolakannya, tetap memintanya memenuhi permohonan itu, [128] raja yang merasa khawatir ratu akan menyusun rencana jahat menghadapi kedua pangeran itu, meminta mereka menghadapnya dan berkata, “Anak-anakku, saat Pangeran Matahari lahir, saya berjanji untuk memenuhi satu permohonan ratu. Sekarang, ia meminta saya menyerahkan kerajaan ini pada putranya. Saya telah menolaknya, namun terkadang wanita dapat melakukan hal-hal yang sangat jahat, dan ia dapat saja mengatur rencana licik untuk mencelakai kalian. Lebih baik kalian mengungsi ke hutan dan kembali setelah saya meninggal untuk memimpin kota ini sebagai penerusku” Setelah mengucapkan kata-kata itu, dengan berlinang air mata dan penuh ratapan, ia mencium kening kedua putranya dan mengirim mereka pergi.
Setelah mengucapkan salam perpisahan pada ayah mereka, kedua pangeran itu meninggalkan kerajaan. Tiada seorang pun selain Pangeran Matahari yang sedang bermain di halaman istana, melihat kepergian mereka. Segera setelah mengetahui penyebab perginya kedua saudaranya, Pangeran Matahari memutuskan untuk mencari mereka, ia pun meninggalkan kerajaan.
Ketiga pangeran berkelana hingga tiba di Pegunungan Himalaya. Setelah menepi dan duduk di bawah pohon, Bodhisatta berkata kepada Pangeran Matahari, “Matahari Adikku, pergilah ke kolam yang ada di sana, minum dan mandilah di kolam itu; lalu bawakan sedikit air minum untuk kami dengan menggunakan daun teratai.” (Kolam tersebut telah diberikan kuasa oleh Vessavaṇa27kepada siluman air dengan berkata, “Kecuali mereka yang mengetahui tentang dewa yang sebenarnya, semua yang masuk ke dalam kolam ini boleh engkau lahap. Mereka yang tidak masuk ke dalam kolam, tidak diizinkan untuk kau sentuh.” Maka siluman air itu selalu menanyai mereka yang masuk ke dalam kolam, apa yang mereka ketahui tentang dewa yang sebenarnya, kemudian melahap mereka yang tidak mengetahui jawabannya.)
Saat Pangeran Matahari memasuki kolam, tanpa terduga, ia ditangkap oleh siluman air itu, yang kemudian bertanya kepadanya, “Apakah kamu tahu siapa dewa yang sebenarnya?” “Ya, saya tahu,” jawabnya, “Matahari dan Bulan.” “Kamu tidak tahu jawabannya,” kata siluman itu, kemudian menariknya masuk ke dalam kolam dan menahan pangeran itu di kediamannya di dalam kolam. Menyadari adiknya masih belum kembali setelah pergi begitu lama, Bodhisatta mengirim Pangeran Bulan ke sana. Ia juga mengalami kejadian yang sama, ditangkap oleh siluman air dan ditanyai dengan pertanyaan yang sama. “Ya, saya tahu,” jawabnya, “Empat penjuru surga.” “Kamu tidak tahu jawabannya,” kata siluman air itu, kemudian membawa korban keduanya ke tahanan yang sama.
Menyadari Pangeran Bulan juga belum kembali setelah pergi begitu lama, Bodhisatta merasa yakin sesuatu telah terjadi pada mereka. Ia segera menyusul dan menemukan jejak kaki mereka menuruni kolam itu. [129] Seketika itu juga ia menyadari bahwa kolam itu pasti dihuni oleh siluman air, ia mengeluarkan pedangnya untuk bersiap-siap, memegang busur dan menunggu. Saat siluman itu menyadari Bodhisatta tidak berniat masuk ke dalam kolam, ia mengubah wujudnya menjadi penjaga hutan, lalu menyapa Bodhisatta, “Kamu tentu letih dengan perjalanan ini, teman. Mengapa tidak masuk ke kolam, mandi dan minum, lalu hiasi dirimu dengan teratai? Setelah itu kamu dapat meneruskan perjalanan dengan lebih nyaman.” Seketika setelah mengenalinya sebagai siluman, Bodhisatta bertanya, “Apakah engkau yang telah menawan kedua adikku?” “Benar,” jawabnya. “Mengapa?” “Karena saya berhak atas semua orang yang masuk ke kolam ini.” “Apa, semua orang?” “Tidak bagi mereka yang tahu tentang dewa yang sebenarnya; di luar itu, semua adalah milikku.” “Apakah kamu ingin tahu mengenai dewa yang sebenarnya itu?” “Ya, saya ingin tahu.” “Kalau begitu, saya akan memberitahumu mengenai dewa yang sebenarnya.” “Lakukanlah, saya akan mendengarkannya.”
“Akan saya mulai,” kata Bodhisatta, “namun saya kotor karena perjalanan ini.” Siluman air itu memandikan Bodhisatta, menyajikan makanan dan air minum, mempereloknya dengan bunga-bungaan serta memercikkan wewangian padanya. Kemudian ia meletakkan sebuah bantalan duduk di tengah sebuah paviliun yang mewah. Setelah duduk di bantalan dan mempersilakan siluman air duduk di dekat kaki beliau, Bodhisatta berkata, “Dengarkan baik-baik, kamu akan mendengar tentang dewa yang sebenarnya.” Ia membacakan syair ini:
Barang siapa seperti dewa yang sebenarnya,
takut dan malu akan kejahatan;
barang siapa yang memiliki batin yang tenang,
gemar akan kebajikan.
[132] Saat siluman itu mendengarkan syair ini, ia merasa
gembira, lalu berkata pada Bodhisatta, “Manusia yang bijaksana, saya merasa puas dengan jawabanmu, akan saya kembalikan salah seorang saudaramu. Saudara manakah yang kamu inginkan?” “Yang muda.” “Manusia yang bijaksana, walaupun kamu mengerti dengan jelas mengenai dewa yang sebenarnya, kamu tidak bertindak demikian.” “Mengapa demikian?” “Mengapa kamu memilih membebaskan yang muda daripada yang tua, tanpa melihat kedudukan mereka.” “Siluman, saya tidak hanya mengerti mengenai dewa yang sebenarnya, saya juga melaksanakannya. Karena dia lah, kami mencari perlindungan di hutan, untuk dia lah, ibundanya meminta kerajaan dari ayah kami dan ayah kami yang menolak permintaan itu, menyetujui kepergian kami untuk mencari perlindungan di hutan. Dia datang kepada kami, tidak berniat untuk kembali ke kerajaan lagi. Tidak akan ada satu makhluk pun yang percaya jika saya mengatakan dia telah dimangsa siluman di hutan; kekhawatiran akan timbulnya kebencian memaksa saya untuk memintanya darimu.”
“Luar biasa! Luar biasa! Oh, manusia yang bijaksana,” seru siluman itu menyetujui perkataan Bodhisatta; “Kamu tidak hanya tahu, tetapi juga bertindak seperti dewa yang sebenarnya.” [133] Sebagai bentuk kesenangan dan kepuasannya, ia membawa kedua saudaranya dan mengembalikan mereka kepada Bodhisatta.
Kemudian Beliau berkata kepada siluman itu, “Teman, akibat perbuatan jahat yang engkau lakukan di masa lalu, sekarang engkau terlahir sebagai siluman yang hidup dari daging dan darah makhluk lain, bahkan di kehidupan ini engkau masih meneruskan perbuatan jahat. Perbuatan jahat ini akan menghalangimu terlepas dari kelahiran kembali di alam neraka dan alam rendah lainnya. Karena itu mulai sekarang, tinggalkanlah kejahatan dan hidup dalam kebajikan.”
Setelah berhasil mengubah perilaku siluman itu, Bodhisatta tetap bersemayam di tempat itu di bawah perlindungannya, hingga suatu hari ia melihat pertanda di langit bahwa ayahnya telah wafat. Dengan membawa siluman air itu bersamanya, ia kembali ke Kota Benares dan mengambil alih kerajaan, menobatkan Pangeran Bulan menjadi Raja Muda dan Pangeran Matahari sebagai Panglima (Militer). Ia menyediakan tempat tinggal yang nyaman untuk siluman air itu, menjamin ia mendapatkan untaian bunga maupun makanan pilihan. Ia sendiri memerintah dengan adil, hingga akhirnya meninggal dan terlahir kembali di alam sesuai dengan apa yang telah ia perbuat.

Ketika uraian ini berakhir, Sang Guru melanjutkan dengan pembabaran Dhamma. Saat Dhamma selesai dibabarkan, bhikkhu itu mencapai Buah dari tingkat kesucian Sotāpanna. Setelah menyampaikan dan mempertautkan kedua kisah ini, Buddha Yang Mahatahu mempertautkan kelahiran tersebut dengan berkata, “Bhikkhu yang hidup serba berkecukupan ini adalah siluman air di masa itu, Ānanda adalah Pangeran Matahari, Sāriputta adalah Pangeran Bulan dan Saya sendiri adalah saudara laki-laki sulung, Pangeran Mahiṃsāsa.”
[Catatan : Lihat Dhammapada karya Fausböll, hal.302, dan Ten Jātakas, hal.88.]
Catatan kaki :
25 Yakni : Sebuah patta, tiga potong kain jubah, sebuah ikat pinggang, sebuah pisau cukur, sebatang jarum dan sebuah penyaring air.
26 Saya artikan sebagai Senāsana-cārikā, berlawanan dengan cārikā biasa yang tidak mempunyai tujuan tertentu dan menerima persembahan dana dari umat awam.
27Nama lain dari Kuvera, Plutus Hindu, saudara laki-laki seayah lain ibu dari Rāvana, raja raksasa dari Sri Lanka di kisah Ramāyana. Seperti yang muncul di Jātaka no.74, Vessavaṇa menguasai siluman pohon dan siluman air, mendapatkan kekuasaan itu dari Sakka.

PĀNĪYA-JĀTAKA

PĀNĪYA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Seteguk air,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang penaklukkan terhadap nafsu keinginan yang jahat.
Dikatakan bahwa pada suatu waktu ada lima ratus penduduk kota Savatthi, yang sebagian merupakan perumah tangga dan teman dari Sang Tathagata, mendengarkan khotbah Dhamma dan setelahnya meninggalkan kehidupan duniawi, serta ditahbiskan menjadi petapa.
Dengan tinggal di dalam rumah Jalan Emas, mereka memuaskan diri dengan pikiran dosa di tengah malam. (Semua rinciannya akan dapat dimengerti dalam cerita sebelumnya 64 .)
Atas perintah Sang Bhagava, semua petapa tersebut dikumpulkan oleh Yang Mulia Ananda.
Sang  Guru kemudian duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa bertanya, “Apakah kalian memuaskan diri dengan pikiran dosa?” Beliau berkata kepada mereka dengan penuh pemahaman dan dalam bahasa umum: “Para bhikkhu, tidak boleh ada pikiran dosa yang rendah seperti itu. Seorang bhikkhu harus mengendalikan semua dosa di saat mereka timbul. Orang bijak di masa lampau, sebelum adanya Sang Buddha, menaklukkan perbuatan dosa mereka dan mencapai tingkat kesucian seorang Pacceka Buddha.”
Dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
____________________
[114] Dahulu kala Brahmadatta berkuasa di Benares, ada dua orang teman di sebuah desa dalam kerajaan Kasi. Mereka bepergian jauh dengan membawa bejana-bejana berisikan air minum, yang mereka letakkan di samping di saat mereka memotong kayu dan ketika mereka haus, mereka akan pergi mengambilnya dan minum dari sana.
Saat pergi meminumnya, salah satu dari mereka ingin berhemat menggunakan air yang ada di dalam bejananya dengan minum dari bejana milik temannya tersebut.
Di sore harinya, setelah keluar dari dalam hutan dan selesai mandi, ia berdiri sambil berpikir, “Apakah saya melakukan perbuatan dosa hari ini,” pikirnya, “baik melalui badan jasmani maupun yang lainnya?”65 Kemudian ia teringat tentang bagaimana ia meminum air yang dicurinya tersebut, dan penderitaan menyelimuti dirinya, ia berkata dengan keras, “Jika rasa haus ini berkembang dalam  diriku, maka ia akan membuatku mengalami tumimbal lahir di alam menyedihkan. Saya harus menaklukkan perbuatan dosaku ini.” Maka dengan air curian yang menjadi penyebabnya, pelan tapi pasti ia mencapai penerangan batin dan memperoleh pengetahuan seorang Pacceka Buddha. Dan ia berdiri di sana, mencerminkan pengetahuan yang baru saja didapatkannya.
Waktu itu laki-laki yang satunya lagi naik setelah selesai mandi, dan berkata, “Ayo teman, kita pulang.” Ia menjawab, “Anda pulanglah, rumah tidak berarti lagi bagiku. Sekarang saya adalah seorang Pacceka Buddha.” “Pooh! apakah Pacceka Buddha itu seperti Anda?” “Kalau begitu, mereka seperti apa?” “Rambut sepanjang dua jari tangan, memakai jubah kuning, tinggal di gua Nandamūla di daerah pegunungan Himalaya.” Laki-laki yang satunya lagi mengelus kepalanya: pada saat itu juga tanda-tanda manusia awamnya menghilang, kain merah menutupi sekelilingnya, sebuah ikat pinggang berwarna kuning seperti seberkas cahaya kilat terikat padanya, jubah merah bagian atas menutupi satu bahunya, kain kumal yang digunakan untuk mengelap debu seperti tumpukan awan di bahunya, sebuah patta berwarna coklat lebah yang terbuat dari tanah liat mengayun dari bahu kirinya; di sana ia berdiri melayang di udara, dan setelah menyampaikan khotbah, ia bangkit dan tidak turun sampai ia tiba di gua-gunung Nandamūla.
Seorang laki-laki lain, yang juga tinggal di desa Kasi, seorang tuan tanah, sedang duduk dalam sebuah pasar amal ketika ia melihat seorang pemuda berjalan mendekat dengan istrinya. Di saat melihat istrinya tersebut (dan wanita ini memiliki kecantikan yang luar biasa), ia melanggar prinsip moral, melihat kepadanya dan kemudian berpikir, “Nafsu keinginan ini, jika terus berkembang, akan menyebabkan diriku tumimbal lahir di alam menyedihkan.” Karena menjadi terlatih dalam pikirannya, ia dapat mengembangkan penerangan batin; kemudian berdiri melayang di udara menyampaikan khotbah, [115] dan ia juga pergi ke gua Nandamūla66.
Begitu juga dengan dua penduduk desa di kerajaan Kasi, seorang ayah dan anak, yang bepergian bersama. Di saat masuk ke dalam hutan, mereka melihat kawanan perampok. Jika para perampok ini berjumpa dengan seorang ayah dan anak, mereka akan menahan anak tersebut dan menyuruh ayahnya pergi dengan berkata, “Bawa uang tebusan untuk anakmu.” ; Jika yang dijumpai adalah abang adik, mereka akan menahan adiknya dan menyuruh abangnya pergi dengan pesan yang sama; jika seorang guru dan siswa, mereka menahan gurunya dan menyuruh siswanya pergi,—dan siswa tersebut akan datang kembali membawa uang untuk membebaskan gurunya dikarenakan keinginan belajar mereka. Ketika ayah dan anak ini melihat mereka sedang menunggu sambil berbaring, sang ayah berkata, “Jangan memanggil saya ‘ayah’, dan saya tidak akan memanggilmu ‘anak’.” Dan demikian mereka menyepakatinya.
Jadi ketika para perampok itu muncul dan bertanya apa hubungan mereka berdua, mereka menjawab, “Kami tidak ada hubungan apa-apa,” demikian mereka melakukan kebohongan bersama itu. Ketika mereka keluar dari hutan tersebut dan sedang beristirahat setelah mandi sore, sang anak mengkaji  kebajikannya sendiri dan ia teringat akan kebohongan tersebut, ia berpikir, “Jika dosa ini terus berkembang, ia akan menyebabkan diriku tumimbal lahir di alam menyedihkan. Saya harus menghilangkan perbuatan dosa ini!” Kemudian ia dapat mengembangkan penerangan batinnya dan mencapai tingkat pengetahuan seorang Pacceka Buddha, dengan berdiri melayang di udara ia memberikan khotbah kepada ayahnya dan pergi ke gua Nandamūla.
Di desa lain di kerajaan Kasi hiduplah seorang ketua suku yang melarang segala bentuk pembunuhan. Di saat tiba waktunya sesajian seperti biasa harus diberikan kepada para arwah, sekumpulan besar penduduk berkata, “Tuanku! ini adalah waktunya untuk memberikan korban persembahan: mari kita sembelih rusa, babi dan hewan lainnya untuk memberikan sesajian kepada para yakkha.” Ia menjawab, “Lakukanlah seperti yang telah kalian lakukan sebelumnya.” Mereka pun melakukan pembantaian besar. Laki-laki ini yang melihat ikan dan daging tersebut, berpikir dalam dirinya sendiri, “Semua makhluk hidup tersebut yang disembelih mereka dikarenakan kata-kataku sendiri!” Ia menyesalinya: dan ketika ia berdiri di dekat jendela, ia mengembangkan penerangan batinnya dan mencapai pengetahuan seorang Pacceka Buddha, dengan berdiri melayang di udara memberikan khotbah dan kemudian pergi ke gua Nandamūla.
Ketua suku lain, yang tinggal di kerajaan Kasi, melarang penjualan minuman keras. Sekumpulan orang berkata kepadanya, “Tuanku! apa yang harus kita lakukan? Sekarang adalah waktunya—festival minum yang mulia!” Ia menjawab, “Lakukan seperti yang telah kalian lakukan sebelumnya.” [116] Mereka pun melangsungkan festival tersebut dan meminum minuman keras, yang akhirnya terjadi perkelahian; ada yang patah tangan dan patah kaki, ada yang pecah kepalanya dan ada yang telinganya putus, serta banyak hukuman lain yang ditimbulkan olehnya. Ketua suku tersebut yang melihat semua ini, berpikir sendiri, “Jika saya tidak mengizinkan mereka mengadakan festival ini, mereka tidak akan perlu mengalami penderitaan semacam ini.” Ia bahkan merasa menyesal atas hal ini: yang kemudian membuat ia mengembangkan penerangan batinnya dan mencapai pengetahuan seorang Pacceka Buddha, dengan melayang di udara ia memberikan khotbah dan meminta mereka tetap waspada (jangan lengah), kemudian pergi ke gua Nandamūla.
Tidak berapa lama setelahnya, kelima Pacceka Buddha tersebut turun di gerbang kota Benares untuk berpindapata. Jubah bagian atas dan bagian bawah mereka ditata dengan begitu rapi, dengan sapaan ramah mereka berkeliling dan sampai di gerbang istana raja. Raja merasa sangat senang melihat mereka; ia mempersilahkan mereka masuk ke dalam istana, membasuh kaki mereka, mengoleskan minyak wangi, menghidangkan makanan yang enak baik keras maupun lembut, kemudian duduk di satu sisi dan berkata kepada mereka: “Bhante, Anda sekalian telah menjalani kehidupan suci di usia muda, itu sangat bagus; Di usia muda Anda sekarang ini, Anda sekalian telah menjadi petapa, dan telah melihat penderitaan yang ditimbulkan oleh nafsu keinginan yang buruk. Apa yang menjadi penyebab dari tindakan Anda ini?”
Kemudian mereka menjawabnya sebagai berikut:
“Seteguk air minum temanku sendiri,
saya curi, meskipun ia adalah temanku:
Membenci perbuatan dosa yang telah saya lakukan,
setelahnya saya menjadi gembira
untuk meninggalkan kehidupan duniawi,
menjadi seorang petapa, jika tidak,
saya akan melakukan dosa lagi.”
“Saya melihat istri orang lain
dan nafsu muncul di dalam jiwaku:
Membenci perbuatan dosa yang telah saya lakukan,
setelahnya saya menjadi gembira
untuk meninggalkan kehidupan duniawi,
menjadi seorang petapa, jika tidak,
saya akan melakukan dosa lagi.”
“Para perampok yang menahan ayahku
di dalam sebuah hutan;
saya memberitahukan kepada mereka
bahwa ia bukanlah ayahku—sebuah kebohongan,
saya mengetahui ini dengan baik:
Membenci perbuatan dosa,” dan seterusnya.
“Orang-orang yang di dalam pesta minuman
membunuh begitu banyak hewan,
Dan saya yang mengizinkan pesta itu:
Membenci perbuatan dosa,” dan seterusnya.
“Orang-orang yang dulunya meminum minuman keras,
Kemudian mengadakan sebuah festival minum,
dimana banyak yang menjadi sakit,
[117] Dan saya yang mengizinkan festival itu.
Membenci perbuatan dosa yang telah saya lakukan,
setelahnya saya menjadi gembira
untuk meninggalkan kehidupan duniawi,
menjadi seorang petapa, jika tidak,
saya akan melakukan dosa lagi.”
Kelima bait kalimat ini diulangi oleh mereka berlima secara bergantian.
Setelah raja mendengar penjelasan mereka semua, ia mengucapkan pujiannya dengan mengatakan, “Bhante, kehidupan petapa ini membuat Anda menjadi baik.”
Raja merasa senang atas pembicaraannya dengan orang-orang tersebut. Ia memberikan derma kepada mereka berupa kain untuk pakaian luar dan dalam, obat-obatan, kemudian mengizinkan mereka pergi. Mereka berterima kasih kepadanya dan kembali ke tempat asal mereka.
Sejak saat itu, raja menjadi tidak menyukai kesenangan inderawi, terbebas dari nafsu, hanya memakan makanan pilihannya dan yang lezat, ia tidak berbicara dengan wanita, tidak menatap mereka, muncul rasa jijik dalam dirinya dan menyendiri di dalam kamarnya yang megah; di sana ia duduk, menatap dinding putih sampai ia tidak sadarkan diri, dan di dalam dirinya terdapat kebahagiaan dari meditasi pencapaian jhana. Di dalam kebahagiaan ini, ia mengucapkan satu bait kalimat untuk mengecam nafsu keinginan:
“Atas dasar nafsu, saya katakan,
adalah kotor, dikelilingi oleh duri!
Tidak pernah, meskipun sekian lama
saya mengikut yang salah,
saya mendapatkan kebahagiaan seperti ini!”
[118] Kemudian ratu berpikir sendiri, “Setelah raja mendengar khotbah dari para Pacceka Buddha tersebut, ia tidak pernah berbicara kepada kita lagi, hanya mengurung dirinya di dalam kamar megah itu. Saya harus membawanya keluar.” Maka ia pergi ke pintu kamar tersebut dan sewaktu berdiri di pintu itu ia mendengar ungkapan kebahagiaan raja dalam mengecam nafsu.
Ratu berkata, “O raja yang agung, Anda mengatakan hal yang buruk tentang nafsu! tetapi sebenarnya tidak ada kesenangan yang melebihi kesenangan nafsu yang manis!” Kemudian ia mengucapkan satu bait kalimat untuk memuji nafsu:
“Besar kesenangan yang ditimbulkan oleh
nafsu keinginan yang manis,
tidak ada kesenangan yang lebih besar
dibandingkan dengan cinta:
Orang yang mengikuti ini
akan mendapatkan kebahagiaan surga di atas!”
Mendengar hal ini, raja berkata, “Matilah Anda, wanita hina! Apakah yang Anda katakan tadi? Darimana datangnya kesenangan yang ditimbulkan oleh nafsu? Selalu ada penderitaan yang datang setelahnya,” raja mengucapkan sisa bait kalimat berikut untuk mengecam nafsu keinginan:
“Rasanya tidak enak, nafsu itu menyakitkan,
tidak ada penderitaan yang lebih buruk lagi:
Barang siapa yang mengikuti nafsu pasti akan
mendapatkan rasa sakit dari alam bawah Neraka.
“Daripada pisau yang diasah tajam,
atau mata pisau yang tajam,
yang tidak bisa ditumpulkan,
Daripada pisau yang tertancap di dalam jantung,
nafsu keinginan lebih sengsara lagi.
“Sebuah lubang yang dalamnya setinggi ukuran orang,
dimana terdapat bara api yang menyala,
Mata bajak yang dipanaskan di bawah sinar matahari,
— nafsu keinginan itu jauh lebih buruk lagi.
“Bisa yang sangat beracun,
cairan yang menimbulkan penderitaan,
Atau benda itu yang melapisi tembaga
—nafsu itu jauh lebih buruk daripada ini.”
[119] Demikianlah Sang Mahasatwa memberikan khotbah kepada ratunya. Kemudian ia mengumpulkan para menteri istananya dan berkata, “O para menteri istana, kalian urus kerajaan: Saya akan meninggalkan kehidupan duniawi.” Di tengah kumpulan orang banyak yang meratap dan menangis tersebut, raja bangkit di antara mereka dan melayang di udara memberikan khotbah.
Kemudian dengan mengikuti arah angin ia pergi ke pegunungan Himalaya, membuat tempat tinggal petapaan di tempat yang menyenangkan; di sana ia hidup sampai usia orang suci, dan mengalami tumimbal lahir di alam Brahma.
____________________
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru menambahkan, “Para bhikkhu, tidak ada yang namanya dosa yang kecil; bahkan yang paling kecil sekalipun akan diperhitungkan.”
Kemudian Beliau memaparkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini (Di akhir kebenarannya, lima ratus orang tersebut mencapai tingkat kesucian):—“Pada masa itu, para Pacceka Buddha mencapai nibbana, Ibu Rahula adalah ratu dan saya sendiri adalah raja tersebut.”