Loading...

Thursday, July 7, 2011

PĀNĪYA-JĀTAKA

PĀNĪYA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Seteguk air,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang penaklukkan terhadap nafsu keinginan yang jahat.
Dikatakan bahwa pada suatu waktu ada lima ratus penduduk kota Savatthi, yang sebagian merupakan perumah tangga dan teman dari Sang Tathagata, mendengarkan khotbah Dhamma dan setelahnya meninggalkan kehidupan duniawi, serta ditahbiskan menjadi petapa.
Dengan tinggal di dalam rumah Jalan Emas, mereka memuaskan diri dengan pikiran dosa di tengah malam. (Semua rinciannya akan dapat dimengerti dalam cerita sebelumnya 64 .)
Atas perintah Sang Bhagava, semua petapa tersebut dikumpulkan oleh Yang Mulia Ananda.
Sang  Guru kemudian duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa bertanya, “Apakah kalian memuaskan diri dengan pikiran dosa?” Beliau berkata kepada mereka dengan penuh pemahaman dan dalam bahasa umum: “Para bhikkhu, tidak boleh ada pikiran dosa yang rendah seperti itu. Seorang bhikkhu harus mengendalikan semua dosa di saat mereka timbul. Orang bijak di masa lampau, sebelum adanya Sang Buddha, menaklukkan perbuatan dosa mereka dan mencapai tingkat kesucian seorang Pacceka Buddha.”
Dengan kata-kata ini, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau kepada mereka.
____________________
[114] Dahulu kala Brahmadatta berkuasa di Benares, ada dua orang teman di sebuah desa dalam kerajaan Kasi. Mereka bepergian jauh dengan membawa bejana-bejana berisikan air minum, yang mereka letakkan di samping di saat mereka memotong kayu dan ketika mereka haus, mereka akan pergi mengambilnya dan minum dari sana.
Saat pergi meminumnya, salah satu dari mereka ingin berhemat menggunakan air yang ada di dalam bejananya dengan minum dari bejana milik temannya tersebut.
Di sore harinya, setelah keluar dari dalam hutan dan selesai mandi, ia berdiri sambil berpikir, “Apakah saya melakukan perbuatan dosa hari ini,” pikirnya, “baik melalui badan jasmani maupun yang lainnya?”65 Kemudian ia teringat tentang bagaimana ia meminum air yang dicurinya tersebut, dan penderitaan menyelimuti dirinya, ia berkata dengan keras, “Jika rasa haus ini berkembang dalam  diriku, maka ia akan membuatku mengalami tumimbal lahir di alam menyedihkan. Saya harus menaklukkan perbuatan dosaku ini.” Maka dengan air curian yang menjadi penyebabnya, pelan tapi pasti ia mencapai penerangan batin dan memperoleh pengetahuan seorang Pacceka Buddha. Dan ia berdiri di sana, mencerminkan pengetahuan yang baru saja didapatkannya.
Waktu itu laki-laki yang satunya lagi naik setelah selesai mandi, dan berkata, “Ayo teman, kita pulang.” Ia menjawab, “Anda pulanglah, rumah tidak berarti lagi bagiku. Sekarang saya adalah seorang Pacceka Buddha.” “Pooh! apakah Pacceka Buddha itu seperti Anda?” “Kalau begitu, mereka seperti apa?” “Rambut sepanjang dua jari tangan, memakai jubah kuning, tinggal di gua Nandamūla di daerah pegunungan Himalaya.” Laki-laki yang satunya lagi mengelus kepalanya: pada saat itu juga tanda-tanda manusia awamnya menghilang, kain merah menutupi sekelilingnya, sebuah ikat pinggang berwarna kuning seperti seberkas cahaya kilat terikat padanya, jubah merah bagian atas menutupi satu bahunya, kain kumal yang digunakan untuk mengelap debu seperti tumpukan awan di bahunya, sebuah patta berwarna coklat lebah yang terbuat dari tanah liat mengayun dari bahu kirinya; di sana ia berdiri melayang di udara, dan setelah menyampaikan khotbah, ia bangkit dan tidak turun sampai ia tiba di gua-gunung Nandamūla.
Seorang laki-laki lain, yang juga tinggal di desa Kasi, seorang tuan tanah, sedang duduk dalam sebuah pasar amal ketika ia melihat seorang pemuda berjalan mendekat dengan istrinya. Di saat melihat istrinya tersebut (dan wanita ini memiliki kecantikan yang luar biasa), ia melanggar prinsip moral, melihat kepadanya dan kemudian berpikir, “Nafsu keinginan ini, jika terus berkembang, akan menyebabkan diriku tumimbal lahir di alam menyedihkan.” Karena menjadi terlatih dalam pikirannya, ia dapat mengembangkan penerangan batin; kemudian berdiri melayang di udara menyampaikan khotbah, [115] dan ia juga pergi ke gua Nandamūla66.
Begitu juga dengan dua penduduk desa di kerajaan Kasi, seorang ayah dan anak, yang bepergian bersama. Di saat masuk ke dalam hutan, mereka melihat kawanan perampok. Jika para perampok ini berjumpa dengan seorang ayah dan anak, mereka akan menahan anak tersebut dan menyuruh ayahnya pergi dengan berkata, “Bawa uang tebusan untuk anakmu.” ; Jika yang dijumpai adalah abang adik, mereka akan menahan adiknya dan menyuruh abangnya pergi dengan pesan yang sama; jika seorang guru dan siswa, mereka menahan gurunya dan menyuruh siswanya pergi,—dan siswa tersebut akan datang kembali membawa uang untuk membebaskan gurunya dikarenakan keinginan belajar mereka. Ketika ayah dan anak ini melihat mereka sedang menunggu sambil berbaring, sang ayah berkata, “Jangan memanggil saya ‘ayah’, dan saya tidak akan memanggilmu ‘anak’.” Dan demikian mereka menyepakatinya.
Jadi ketika para perampok itu muncul dan bertanya apa hubungan mereka berdua, mereka menjawab, “Kami tidak ada hubungan apa-apa,” demikian mereka melakukan kebohongan bersama itu. Ketika mereka keluar dari hutan tersebut dan sedang beristirahat setelah mandi sore, sang anak mengkaji  kebajikannya sendiri dan ia teringat akan kebohongan tersebut, ia berpikir, “Jika dosa ini terus berkembang, ia akan menyebabkan diriku tumimbal lahir di alam menyedihkan. Saya harus menghilangkan perbuatan dosa ini!” Kemudian ia dapat mengembangkan penerangan batinnya dan mencapai tingkat pengetahuan seorang Pacceka Buddha, dengan berdiri melayang di udara ia memberikan khotbah kepada ayahnya dan pergi ke gua Nandamūla.
Di desa lain di kerajaan Kasi hiduplah seorang ketua suku yang melarang segala bentuk pembunuhan. Di saat tiba waktunya sesajian seperti biasa harus diberikan kepada para arwah, sekumpulan besar penduduk berkata, “Tuanku! ini adalah waktunya untuk memberikan korban persembahan: mari kita sembelih rusa, babi dan hewan lainnya untuk memberikan sesajian kepada para yakkha.” Ia menjawab, “Lakukanlah seperti yang telah kalian lakukan sebelumnya.” Mereka pun melakukan pembantaian besar. Laki-laki ini yang melihat ikan dan daging tersebut, berpikir dalam dirinya sendiri, “Semua makhluk hidup tersebut yang disembelih mereka dikarenakan kata-kataku sendiri!” Ia menyesalinya: dan ketika ia berdiri di dekat jendela, ia mengembangkan penerangan batinnya dan mencapai pengetahuan seorang Pacceka Buddha, dengan berdiri melayang di udara memberikan khotbah dan kemudian pergi ke gua Nandamūla.
Ketua suku lain, yang tinggal di kerajaan Kasi, melarang penjualan minuman keras. Sekumpulan orang berkata kepadanya, “Tuanku! apa yang harus kita lakukan? Sekarang adalah waktunya—festival minum yang mulia!” Ia menjawab, “Lakukan seperti yang telah kalian lakukan sebelumnya.” [116] Mereka pun melangsungkan festival tersebut dan meminum minuman keras, yang akhirnya terjadi perkelahian; ada yang patah tangan dan patah kaki, ada yang pecah kepalanya dan ada yang telinganya putus, serta banyak hukuman lain yang ditimbulkan olehnya. Ketua suku tersebut yang melihat semua ini, berpikir sendiri, “Jika saya tidak mengizinkan mereka mengadakan festival ini, mereka tidak akan perlu mengalami penderitaan semacam ini.” Ia bahkan merasa menyesal atas hal ini: yang kemudian membuat ia mengembangkan penerangan batinnya dan mencapai pengetahuan seorang Pacceka Buddha, dengan melayang di udara ia memberikan khotbah dan meminta mereka tetap waspada (jangan lengah), kemudian pergi ke gua Nandamūla.
Tidak berapa lama setelahnya, kelima Pacceka Buddha tersebut turun di gerbang kota Benares untuk berpindapata. Jubah bagian atas dan bagian bawah mereka ditata dengan begitu rapi, dengan sapaan ramah mereka berkeliling dan sampai di gerbang istana raja. Raja merasa sangat senang melihat mereka; ia mempersilahkan mereka masuk ke dalam istana, membasuh kaki mereka, mengoleskan minyak wangi, menghidangkan makanan yang enak baik keras maupun lembut, kemudian duduk di satu sisi dan berkata kepada mereka: “Bhante, Anda sekalian telah menjalani kehidupan suci di usia muda, itu sangat bagus; Di usia muda Anda sekarang ini, Anda sekalian telah menjadi petapa, dan telah melihat penderitaan yang ditimbulkan oleh nafsu keinginan yang buruk. Apa yang menjadi penyebab dari tindakan Anda ini?”
Kemudian mereka menjawabnya sebagai berikut:
“Seteguk air minum temanku sendiri,
saya curi, meskipun ia adalah temanku:
Membenci perbuatan dosa yang telah saya lakukan,
setelahnya saya menjadi gembira
untuk meninggalkan kehidupan duniawi,
menjadi seorang petapa, jika tidak,
saya akan melakukan dosa lagi.”
“Saya melihat istri orang lain
dan nafsu muncul di dalam jiwaku:
Membenci perbuatan dosa yang telah saya lakukan,
setelahnya saya menjadi gembira
untuk meninggalkan kehidupan duniawi,
menjadi seorang petapa, jika tidak,
saya akan melakukan dosa lagi.”
“Para perampok yang menahan ayahku
di dalam sebuah hutan;
saya memberitahukan kepada mereka
bahwa ia bukanlah ayahku—sebuah kebohongan,
saya mengetahui ini dengan baik:
Membenci perbuatan dosa,” dan seterusnya.
“Orang-orang yang di dalam pesta minuman
membunuh begitu banyak hewan,
Dan saya yang mengizinkan pesta itu:
Membenci perbuatan dosa,” dan seterusnya.
“Orang-orang yang dulunya meminum minuman keras,
Kemudian mengadakan sebuah festival minum,
dimana banyak yang menjadi sakit,
[117] Dan saya yang mengizinkan festival itu.
Membenci perbuatan dosa yang telah saya lakukan,
setelahnya saya menjadi gembira
untuk meninggalkan kehidupan duniawi,
menjadi seorang petapa, jika tidak,
saya akan melakukan dosa lagi.”
Kelima bait kalimat ini diulangi oleh mereka berlima secara bergantian.
Setelah raja mendengar penjelasan mereka semua, ia mengucapkan pujiannya dengan mengatakan, “Bhante, kehidupan petapa ini membuat Anda menjadi baik.”
Raja merasa senang atas pembicaraannya dengan orang-orang tersebut. Ia memberikan derma kepada mereka berupa kain untuk pakaian luar dan dalam, obat-obatan, kemudian mengizinkan mereka pergi. Mereka berterima kasih kepadanya dan kembali ke tempat asal mereka.
Sejak saat itu, raja menjadi tidak menyukai kesenangan inderawi, terbebas dari nafsu, hanya memakan makanan pilihannya dan yang lezat, ia tidak berbicara dengan wanita, tidak menatap mereka, muncul rasa jijik dalam dirinya dan menyendiri di dalam kamarnya yang megah; di sana ia duduk, menatap dinding putih sampai ia tidak sadarkan diri, dan di dalam dirinya terdapat kebahagiaan dari meditasi pencapaian jhana. Di dalam kebahagiaan ini, ia mengucapkan satu bait kalimat untuk mengecam nafsu keinginan:
“Atas dasar nafsu, saya katakan,
adalah kotor, dikelilingi oleh duri!
Tidak pernah, meskipun sekian lama
saya mengikut yang salah,
saya mendapatkan kebahagiaan seperti ini!”
[118] Kemudian ratu berpikir sendiri, “Setelah raja mendengar khotbah dari para Pacceka Buddha tersebut, ia tidak pernah berbicara kepada kita lagi, hanya mengurung dirinya di dalam kamar megah itu. Saya harus membawanya keluar.” Maka ia pergi ke pintu kamar tersebut dan sewaktu berdiri di pintu itu ia mendengar ungkapan kebahagiaan raja dalam mengecam nafsu.
Ratu berkata, “O raja yang agung, Anda mengatakan hal yang buruk tentang nafsu! tetapi sebenarnya tidak ada kesenangan yang melebihi kesenangan nafsu yang manis!” Kemudian ia mengucapkan satu bait kalimat untuk memuji nafsu:
“Besar kesenangan yang ditimbulkan oleh
nafsu keinginan yang manis,
tidak ada kesenangan yang lebih besar
dibandingkan dengan cinta:
Orang yang mengikuti ini
akan mendapatkan kebahagiaan surga di atas!”
Mendengar hal ini, raja berkata, “Matilah Anda, wanita hina! Apakah yang Anda katakan tadi? Darimana datangnya kesenangan yang ditimbulkan oleh nafsu? Selalu ada penderitaan yang datang setelahnya,” raja mengucapkan sisa bait kalimat berikut untuk mengecam nafsu keinginan:
“Rasanya tidak enak, nafsu itu menyakitkan,
tidak ada penderitaan yang lebih buruk lagi:
Barang siapa yang mengikuti nafsu pasti akan
mendapatkan rasa sakit dari alam bawah Neraka.
“Daripada pisau yang diasah tajam,
atau mata pisau yang tajam,
yang tidak bisa ditumpulkan,
Daripada pisau yang tertancap di dalam jantung,
nafsu keinginan lebih sengsara lagi.
“Sebuah lubang yang dalamnya setinggi ukuran orang,
dimana terdapat bara api yang menyala,
Mata bajak yang dipanaskan di bawah sinar matahari,
— nafsu keinginan itu jauh lebih buruk lagi.
“Bisa yang sangat beracun,
cairan yang menimbulkan penderitaan,
Atau benda itu yang melapisi tembaga
—nafsu itu jauh lebih buruk daripada ini.”
[119] Demikianlah Sang Mahasatwa memberikan khotbah kepada ratunya. Kemudian ia mengumpulkan para menteri istananya dan berkata, “O para menteri istana, kalian urus kerajaan: Saya akan meninggalkan kehidupan duniawi.” Di tengah kumpulan orang banyak yang meratap dan menangis tersebut, raja bangkit di antara mereka dan melayang di udara memberikan khotbah.
Kemudian dengan mengikuti arah angin ia pergi ke pegunungan Himalaya, membuat tempat tinggal petapaan di tempat yang menyenangkan; di sana ia hidup sampai usia orang suci, dan mengalami tumimbal lahir di alam Brahma.
____________________
Setelah menyampaikan uraian ini, Sang Guru menambahkan, “Para bhikkhu, tidak ada yang namanya dosa yang kecil; bahkan yang paling kecil sekalipun akan diperhitungkan.”
Kemudian Beliau memaparkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran ini (Di akhir kebenarannya, lima ratus orang tersebut mencapai tingkat kesucian):—“Pada masa itu, para Pacceka Buddha mencapai nibbana, Ibu Rahula adalah ratu dan saya sendiri adalah raja tersebut.”

0 Comment:

Post a Comment