Perjalanan Astral ke Negeri Cahaya Darah
神行於血光國
Oleh Maha Mula Acharya Liansheng
Diterjemahkan oleh Zhiwei Zhu
Dalam suatu perjalanan astral, sampailah Aku ke suatu alam yang liar, sepanjang mata memandang, tiada batas dan tepinya, seluruh angkasa berwarna merah, seluruh tanah berwarna merah, tanah yang kemerahan itu diperhatikan lagi lebih teliti ternyata adalah aliran darah yang bergemericik. Aku sangat terkejut! Apa yang tercium hidung semuanya adalah bau amis darah yang sangat kental, benar-benar merupakan bau tak sedap yang taktertahankan. Di alam liar ini, ternyata ada 'orang' tinggal, semuanya tanpa kepala, putus tubuh, putus tangan, putus kaki, tempat yang ditinggali oleh hantu yang berlumuran darah. Tempat yang ditinggali terbagi dalam suku-suku, satu suku satu kelompok, kelompok-kelompok itu takterhingga banyaknya, semuanya dalam keadaan seperti ini, berlumuran darah, seluruh langit dan bumi penuh dengan aliran darah, menyedihkan! Menyedihkan!
Sebuh syair:
Kulit tipis membungkus darah dan lemak.
Daging dan tulang busuk seperti kotoran.
Nanah dan darah bersumber dari keruntuhan.
Peperangan jaman dulu dan sekarang.
Kelompok-kelompok itu adalah tempat berkumpulnya roh-roh yang telah mati setelah jaman peperangan, satu kelompok demi satu kelompok, banyak sekali jumlahnya. Hawa kebencian mereka sangat besar sampai-sampai langit dan bumi pun tercemar menjadi merah, sungguh kasihan sungguh menyedihkan! Aku pergi ke suatu tempat, terlihatlah satu 'Cahaya Prajna' tipis meliputi satu suku, Aku merasa sangat heran. 'Tempat ini ada Cahaya Prajna, sangat aneh!' Aku bergumam. Begitu Aku masuk ke dalam 'Cahaya Prajna', bertemulah dengan seorang tua, salahsatu kakinya pincang dan mengeluarkan darah, Aku bertanya: 'Negeri apa ini?' Jawab: 'Negeri Cahaya Darah.' 'Di dalam Negeri Cahaya Darah inimengapa ada satu suku yang terdapat Cahaya Prajna diatasnya.'Suku ini berlindung pada kekuatan gaib Budha, suku ini berbeda dengan suku lainnya, suku ini adalah suku Sakya yang dimusnahkan.' 'Ha!' Aku terkejut setengah mati. Aku berkata: 'Suku Sakya masih ada dalam Negeri Cahaya Darah?' Orang tua itu menjawab: 'Kerajaan dan suku-suku jaman dahulu yang telah dimusnahkan, kerajaan dan suku bangsa yang tidak dalam Negeri Cahaya Darah, jumlahnya takterhitung banyaknya!'
Mengenai masalah suku Sakya, sukunya Budha Sakyamuni, umat Budha sudah akrab dengan ceritanya. Kita yang belajar Budha Dharma, setelah upasampada, mengubah marganya menjadi 'Sakya', sesuai dengan yang disabdakan dalam Sutra Agama: Empat sungai mengalir ke laut, tidak ada lagi nama sungainya. Empat marga memasuki sangha. Disebut keturunan Sakya.
Pada waktu itu Sakyamuni (Orang yang welas asih dan tenang), asalnya adalah seorang pangeran dari kerajaan India kuno Kapilawastu, ayah-Nya bernama Sudhodana, ibu-Nya bernama Maya. Kata 'Sakya' adalah nama suku. Raja Prasenajit (Pasenadi) dari Kerajaan Kosala pada waktu itu, mengunjungi suku Sakya untuk memohon perkawinan, akan tetapi suku Sakya mempunyai rasa keunggulan ras mereka, tidak sudi putrinya menikah keluar suku. Namun tidak berani menolaknya pula karena kekuatan militer raja Prasenajit. Pangeran suku Sakya Mahanama mendapatkan siasat, ia memalsukan seorang anak gadis dari wanita pelayan keluarga yang bernama 'Mali', putri palsu itu akhirnya menikah. 'Mali' melahirkan seorang anak, ia adalah pangeran Virudhaka, pada saat umur 8 tahun, atas perintah ayahnya pangeran Virudhaka pergi ke Kerajaan Kapilawastu untuk belajar ilmu memanah. Saat itu ia melihat panggung tempat Budha berceramah, ia masuk ke dalamnya. Lalu orang suku Sakya mengetahui kejadian itu, menganggap anak seorang budak telah mengotori tempat suci, lalu membongkar tanah yang digali dari kedalaman tujuh kaki, digantikan dengan tanah yang suci! (diskriminasi rasial di India, sejak jaman dahulu sangat serius) Setelah Pangeran Virudhaka mengetahui hal ini, ia bersumpah dalam hati: 'Setelah menduduki tahta raja, saya pasti akan memusnahkan suku Sakya, memusnahkan Kerajaan Kapilawastu.'
Di kemudian hari akhirnya, musnahlah suku Sakya. Demi menyelamatkan suku Sakya, Budha pernah beberapa kali menghadang pasukan Raja Virudhaka, namun, karena hukum karma, tetap saja suku Sakya dimusnahkan. Ada kisah lain: Raja Virudhaka adalah seekor ikan besar di kehidupan lampaunya. Ditangkap oleh suku Sakya dan dimasak lalu dimakan oleh semua orang Sakya. Hanya ada seorang anak kecil yang tidak memakannya, tetapi ia telah memukul kepala ikan itu tiga kali, anak kecil ini adalah Sakyamuni Budha di kehidupan berikutnya. Karena Budha telah memukul kepala ikan tiga kali. Oleh sebab itu Ia mengalami 'migran'. (dari bab 26 Sutra Agama dapat dilihat catatan tentang sakit kepala sang Budha) Sakit kepala seperti ditekan batu. Seperti memakai Gunung Semeru. Penderitaan yang taktertahankan!
Budha Dharma berbicara tentang Hukum Karma, perihal pembalasan karma ada 'Pembalasan Langsung', 'Pembalasan Satu Kehidupan Mendatang', 'Pembalasan Kemudian': 'Pembalasan Langsung' adalah sekarang berbuat karma sekarang menerima pembalasan karmanya. 'Pembalasan Satu Kehidupan Mendatang' adalah sekarang berbuat karma kehidupan yang akan datang menerima balasannya. 'Pembalasan Kemudian' adalah sekarang berbuat karma nanti setelah dua kehidupan yang akan datang atau lebih baru menerima pembalasannya. (bukan tanpa pembalasan, waktunya belum tiba saja.) Bahkan Budha yang telah mencapai Samyaksambodhi, tetap tidak mampu menolong negeri leluhur-Nya, saudara sesuku-Nya, sanak saudara-Nya dari pembalasan 'karma tetap'. Karma yang diperbuat di kehidupan yang lampau, walaupun saat ini telah menjadi Budha yang telah mencapai Samyaksambodhi, tetap akan menerima pembalasan juga. Tidak ada kesalahan sedikitpun dalam Hukum Karma.
Aku bertanya pada orang tua itu: 'Bagaimana bisa suku ini mempunyai Cahaya Prajna?' Jawabnya: 'Ini juga merupakan Hukum Karma, Budha berasal dari suku Sakya ini, sampai di Negeri Cahaya Darahpun, Ia tetap berbelas kasih dengan suku ini yang telah mengalami penderitaan, lalu Cahaya Prajna hasil latihan-Nya Ia lepaskan untuk menaungi suku ini. Semua penduduk suku mengeluh aliran darah lebih banyak di daerah ini, namun beberapa tanaman layu tumbuh kembali, pengairan yang kurang menjadi ada airnya, musim kemarau menjadi turun hujan, banjir tidak melanda. Budha juga mengorbankan diri sendiri, setulus hati menolong suku kami, sekuat tenaga mengurangi ujian penderitaan dunia roh Negeri Cahaya Darah suku kami.' 'Mengapa Budha tidak menyeberangkan seluruh suku ke Tanah Suci?', tanya-Ku. 'Ha Ha!' Orang tua itu tertawa besar. Orang tua itu berkata: 'Tidakkah Anda pernah mendengar karma masing-masing dipikul masing-masing?' 'Benar.' Aku mengangguk. 'Budha hanya mengajarkan metode melatih diri, setiap orang yang ingin berhasil, hanya dengan diri sendiri melatihnya, baru dapat mencapai hasil.' Orang tua berkata. 'Mohon tanya bapak ini siapa?' Aku bertanya. Orang tua itu balik bertanya: 'Anda sendiri siapa?' Orang tua itu berubah menjadi sehembus angin, lalu menghilang!