Loading...

Friday, January 23, 2009

Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan

Dec 10, 2008 Keluarga

Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Khantidharo



Secara umum perkawinan meruakan masalah yang dihadapi oleh setiap orang, baik anak muda maupun orang tua. Bagi anak muda merupakan teka-teki antara harapan akan kebahagiaan maupun kecemasan atau keragu-raguan yang harus dihadapi pada waktu-waktu mendatang, dalam kehidupan berumah tangga. Sementara itu banyak orang tua yang gelisah karena anaknya sudah cukup umur, tetapi belum juga ada tanda tanda menemukan jodohnya.

Seusia dengan ajaran Sang Buddha, maka setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih cara hidupnya masing-masing. Sang Buddha tidak mewajibkan untuk setiap orang harus mencari pasangan hidupnya. Demikian pula Sang Buddha tidak melarang bagi mereka yang ingin hidup membujang, baik pria maupun wanita. Dengan kata lain kewajiban untuk membangun rumah tangga sebagai suami/istri bukan merupakan kewajiban beragama yang harus dipatuhi. Mereka yang hidup membujang tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha. Tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan batiniah, baik didunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya, sampai tercapainya Nibbana. Oleh karena itu perkawinan menurut agama Buddha tidak dianggap sebagia sesuatu yang suci ataupun tidak suci.

Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut: “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

Sesuai dengan hukum alam, bahwa tak ada sesuatu yang kekal. Maka dengan demikian tidak ada perkawinan yang bersifat kekal. Oleh karena itu yang dimaksud dengan “kekal” dalam undang-undang tersebut adalah merupakan cita-cita dan harapan yang harus diartikan secara moral. Dalam kenyataannya dapat ditanyakan kepada masing-masing keluarga (Suami/istri), apakah mereka itu sudah bisa mencapai kebahagian dimaksud? Apalagi tentang kekal, tentu tidak akan terwujud karena bertentangan dengan hukum alam itu sendiri. Oleh karena itu kata “kekal” disini berarti kekal yang terbatas, yaitu sampai salah seorang suami/istri meninggal dan tak terjadi perceraian sebelumnya.

Untuk lebih luwes dan sesuai dengan ajaran Sang Buddha, maka pengertian perkawinan akan lebih jelas dikatakan:

“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami – istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.”

Sebagai umat Buddha maka agar kita bisa membentuk keluarga bahagia, kita harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, yaitu bila suami – istri itu terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha (keyakinan), Sila (kesusilaan), Caga (kemurahan hati), dan Panna (kebijaksanaan) (Anguttara N. II,62)

Dengan memiliki 4 (empat) faktor yang merupakan pandangan yang sama tersebut diatas, maka suami – istri akan dengan mudah untuk mengemudikan bahtera rumah tangga dengan suasana kehidupan yang penuh harmoni.

Dalam kenyataannya terdapat banyak sekali pasangan suami – istri yang memiliki pandangan hidup yang sama, tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain kita sangat sedikit menjumpai pasangan suami istri yang harmoni seperti yang dicita-citakan oleh semua orang.

Sehubungan dengan ini maka Sang Buddha menyebutkan beberapa jenis pasangan suami istri yang memiliki sifat sifat:

Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan wanita jahat (raksasi/chava), ini merupakan pasangan yang brengsek.

Seorang pria jahat (raksasa/chavo) dengan seorang wanita yang baik (devi), ini merupakan pasangan yang tak seimbang.

Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita jahat (raksasa/chava), ini merupakan pasangan yang tak seimbang.

Seorang pria baik (deva) dengan seorang wanita baik (devi). Pansangan pria yang baik dengan wanita yang baik atau dikatakan pasangan deva dan devi ini adalah pasangan yang paling harmoni. Pasangan inilah yang dipuji oleh Sang Buddha. (Anuggtara N.II,57)

Sujata adalah menantu Anathapindika yang terkenal sebagai seorang istri yang bengis, kejam dan tak kenal sopan terhadap suami maupun mertuanya. Sewaktu Sang Buddha sedang menguraikan ajarannya setelah menerima dana makan siang di rumah Anathapindika. Sujata marah-marah dan memaki-maki dengan suara yang keras dan kasar kepada pembantunya, sehingga Sang Buddha menghentikan ceramahnya dan bertanya:

“Siapa itu yang marah-marah?”

dan dijawab oleh Anathapindika bahwa dia adalah Sujata, menantunya yang sedang memarahi pembantunya.

Sang Buddha kemudian menyuruh memanggil Sujata untuk menhadap. Ketika Sujata sudah menghadap, maka Sang Buddha berbicara kepada Sujata, bahwa ada 7 (tujuh) jenis istri:

Istri Pembunuh (Vadha-kasama), yaitu seorang istri yang tak kenal belas kasih batinnya kotor, membenci suami, menginginkan pria lain, bahkan berusaha untuk membunuh suaminya.

Istri Perampok (Corisama), yaitu seorang istri yang walaupun seluruh hasil pendapatan suaminya sudah diserahkan pada istrinya, namun istrinya selalu menyembunyikan harta itu untuk kepentingan dirinya sendiri.

Istri Kejam (Ayyasama), yaitu seorang istri yang malas, kaku, rakus, bengis, bicara kasa, suka bergunjing, menguasai siami, boros, memperbudak suami, menjelek-jelekkan siami.

Istri Ibu (Matasama), yaitu seorang istri yang selalu memperhatikan suaminya, bagaikan seorang ibu yang menyayangi putra tunggalnya, menjaga dengan baik baik kekayaan keluarga yang diperoleh suaminya.

Istri Saudara (Bhaginisama), yaitu seorang istri yang memperlakukan suaminya seperti adik terhadap kakak, melayani suaminya dengan sopan dan berbakti dengan penuh lemah lembut.

Istri Sahabat (Sakhisama), yaitu seorang istri yang selalu bersikap riang terhadap suaminya, menyenangi kehadiran suaminya. Bagaikan bertemu sahabat yang telah lama tidak berjumpa. Istri yang berkepribadian anggun dan berbudi luhur, tulus mengadi dan dapat mengarahkan suaminya.

Istri Pembantu (Dasisama), yaitu seorang istri yang bersifat tenang, bebas dari kemarahan. Dengan hati yang tenang bersedia menanggung derita bersama suaminya. Tanpa rasa dendam dan selalu patuh terhadap suaminya. Mendengarkan kata-kata suami dengan rendah hati.

Istri yang termasuk1, 2 dan 3 (pembunuh, pencuri, dan kejam), setelah meninggal akan terlahir kembali di alam yang penuh kesengsaraan. Tetapi istri yang termasuk 4, 5, 6, dan 7 (ibu, saudara, sahahgat dan pembantu), setelah meninggal akan terlahir kembali di dalam yang penuh kebahagiaan.

Inilah tujuh jenis istri itu. Seorang laki-laki yang menikah pasti akan mendapatkan salah satu dari tujuh jenis istri ini. Kemudian Sang Buddha bertanya kepada Sujata,

“Dan kami Sujata, termasuk jenis istri yang mana dirimu?” Dengan batin yang tergugah Sdujata menjawab bahwa mulai saat itu ia akan berusaha untuk menjadi pembantu bagi suaminya. Sejak saat itu, Sujata berubah menjadi istri yang baik. (Angguttara IV, 91 dst.J.269).

Sebaliknya seorang ssuamipun tentu memiliki sifat-sifat salah satu dari 7 jenis istri seperti tersebut diatas. Pasangan siami istri akan merupakan rumah tangga yang brensek, jika memili8ki sifat 1, 2 dan 3 seperti tersebut diatas. Tetapi Pasangan suami istri akan menjadi harmoni kalau terdapat pasangan yang memiliki sifat-sifat seperti tersebut dlam 4, 5, 6 atau 7 di atas. Selanjutnya dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menguraikan bagaimana kewajiban suami-istri agar bisa menjalin hubungan rumah tangga yang harmoni.

Seorang suami harus memperlakukan istrinya:
»

Menghormatinya
»

Ramah tamah dan tidak membenci
»

Setia
»

Menyerahkan kekuasan rumah tangga kepada istrinya.
»

Memberikan hadiah/ perhiasan.

Seorang istri harus memperlakukan suaminya:
»

Menjalankan kewajiban dengan baik dan bertanggung jawab
»

Ramah tamah terhadap sanak keluarga dari kedua belah pihak
»

Setia
»

Melindungi penghasilan suaminya (tidak boros)
»

Pandai dan rajin melaksanakan tugasnya.

Perkawinan merupakan paduan keluarga antara dua pihak, yaitu pihak suami dan pihak istri. Oleh karena itu perkawinan yang harmoni akan tercipta jika masing-masing pihak (pihak suami maupun pihak istri) mau menerima dan memperlakukan kehadiran mertua selaku orang tuanya sendiri, serta memperlakukan saudara-saudara dari pihak suami maupun istri (saudara ipar), sebagai saudara kandungnya sendiri. Demikian pula terhadap saudara-saudara serta teman-teman yang lainnya dari masing-masing pihak. Sebaliknya pihak mertua harus mau menerima kehadiran menantu sebagai anak kandungnya sendiri, dan demikian pula bagi saudara-saudara iparnya. Dalam dunia rumah tangga tidak sedikit telah terjadi perceraian dengan mengorbankan anak-anak, hanya karena ikut campirnya atau karena adanya dominasi mertua atau sauara-saudara ipar dalam rumah tangga. Oleh karena itu untuk membangun rumah tangga yang harmoni diperlukan adanya kerelaan berkorban dan saling pengertian antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Pada kenyataannya memang sangat sulit kita menjumpai rumah tangga yang harmoni. Jika dari 10 rumah tangga itu kita bisa jumpai 2 rumah tangga / keluarga yang bisa hidup harmoni, ini merupakan hal yang sangat baik. Tetapi jika dari sepuluh rumah tangga itu ternyata hidupnya kurang harmoni (kalau tidak boleh dikatakan brengsek), maka hal ini merupakan hal yang biasa.

Sekalipun demikian bagi kawula muda tidak perlu takut untuk berumah tangga, karena jodoh itu sebenanya sesuai dengan karma kita masing masing. Pasangan suami istri yang tampaknya tiak sesuai, penih dengan hari-hari cekcok, namun nyatanya anaknya terus lahir. Dalam hal ini kita bisa banyak memperhatikan adanya pasangan suami-istri yang tidak seimbang, namun rumah tangga mereka bisa berjalan lancar, dan banyak yang bisa memdidik anak-anak mereka dengan sukses. Yang dikatakan pasangan atau jodoh itu memang tidak harus sama. Sepasang sepatu atau sandal tidak akan sama. Begitu pula pasangan sendok dan garpu sama sekali tidak sama. Sendok dan garpi hari-hari selalu bertarung diatas piring. Tetapi piring itu tak pernah menjadi pecah. Dan kalau sendok dan garpu itu tidak tarung diats piring maka kita tidak bisa kenyang, karena makan kita tidak bisa tenang. Demikianlah meskipun rumah tangga itu ada yang selalu cekcok, tetapi tak perlu rumah tangga itu harus pecah (cerai). Apakah dengan demikian kita tidak bisa membangun rumah tangga yang bahagia seperti yang kita cita-citakan? Bukan demikian. Hanya untuk membangun rumah tangga yang harmoni itu tidaklah gampang. Karena kunci utamanya ialah kita harus mampu untuk menakhlukkan diri kita masing-masing. Kita harus mampu menaklukkan / mengendalikan nafsu-nafsu keinginan kita masing-masing.

Harmoni dengan keluarga tidak bisa diraih dengan berdoa saja, tetapi baru biusa diraih dengan perjuangan. Usaha yang ulet, secara lahiriah maupun batiniah. Secara lahiriah bisa dicapai dengan memiliki keterampilan dan mata pencaharian yang benar serta bekerja denga rajin dan ulet untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk perjuangan batiniah dituntut adanya semangat pengendalian diri, dengan selalu menjaga kewaspadaan terhadap gerak gerik pikiran kita dennga biak. Hal ini bisa dicapai dengan rajin melatih diri dalam meditasi.

Meditasi yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah yang dikatakan mediasi benar, meditasi yang membawa berkah. Dalam hal ini meditasi vipassana bhavana merupakan satu satunya jalan paling cepat untuk bisa mengubah tingkah laku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi lebih tenang, sabar, tidak gelisah, tidak mudah tersinggung, tidak membenci, tidak emosi dalam menghadapi segala sesuatu dalam pergaulan sehari-hari, selalu waspada, pikiran terkendali, serta bijaksana dalam segala tingdakan yang diambil atau dihadapinya.

Dengan meditasi yang benar kita tak akan kecil hati, tak akan takut, tak akan khawatir dalam menghadapi hari-hari mendatang. Kita tidak akan takut menghadapai peristitwa-peristiwa yang umumnya sering dipoandang mengganggu terhadap kebahagiaan keluarga. Yang kini maksudkan disini ialah bagaimana kita bisa tabah dalam menghadapi datangnya usia tua, sakit dan…. Saat-saat yang tidak kita inginkan… yaitu datangnya kematian, bagtaimanapun kita tak mungkin bisa menghindari datangnya tiga peristiwa tersebut, karena tanpa diundang dia pasti datang. Yang paling utama dalam hal ini ialah kita harus menyadari mulai sekarang, mulai saat ini juga. Kita harus mempersiapkan diri untuk menyambutnya dnegna lapang dada, dengan pikiran yang penu ketenangan dan kebahagiaan. Sehingga pada saat kita harus meninggal kita telah bebas dari ikatan harta materi maupun ikatan dengan anak, istri / suami, serta sanak saudara lainnya.

Dan jalan demikian hanya bisa dicapai melalui latihan mental secara intensif. Dalam hal ini ialah meditasi vipassana bhavana. Karena itu sangat penting bagi siapapun untuk berlatih meditasi ini. Lebih-lebih bagi pasangan muda yang bercita-cita untuk membangun rumah tangga yang harmoni, ia akan sukses jika kedua belah pihak suka dan sering melatih diri vipassana bhavana.. Meditasi ini merupakan cara satu-satunya untuk menyelami Dhamma. Dhamma tak akan dapat dilaksanakan dalam hidup sehari-hari hanya mendengarkan, diskusi, atau membca buku-buku Dhamma, tetapi harus dilaksanakan dengan perenungan yang mendalam (meditasi).

Inilah yang diajarkan oleh Sang Buddha yang merupakan jalan menuju kepada keseimbangan lahiriah dan batiniah. Hanya orang yang memiliki keseimbangan lahirian dan batiniah yang akan mampu menghadapi segala tantangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga ia bisa merasakan hdiup ini penuh dengan kebahagiaan.

Perceraian

Dari sutta-sutta Sang Buddha, kami belum menemukan adanya masalah perceraian. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perceraian itu kurang sesuai dengan ajaran San Buddha. Masalahnya menjhadi timbul kalau ternaya dalam rumah tangga suami-stri tidak terdapat kecocokan sehingga mereka tidak mampu lagi mengendalikan dirinya. Sedangkan Sang Buddha selalu mengajarkan kepada kita agar kita rajin-rajin serta berusaha sekuat mungkin untuk melatih diri agar dapat mengontrol atau mengendalikan pikiran kita, manusia yang pada umumna masih dikuasai oleh lobha, dosa, dan moha, menjadi sangat sulit untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang muncul dalam rumah tangga. Apakah dengan demikian agama Buddha melarang adanya perceraian?

Sebagaimana dimuka telah disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma. Dengan pengertian ini maka jika memang perkawinan itu tidak mungmkin lagi dipertahankan, misalnya seorang istri yang bersuamikan seirang yang jahat (Chavo), bersifat seperti raksasa atau sebaliknya, seorang suami yang berisitrikan seirang yang jahat (Chava) yang bersifat seperti raksasi, maka mungkin perceraian malah bisa merupakan jalan keluar yang lebih baik. Tetapi harus disadari bahwa akibat perceraian akan membawa dampak negatif terhadap pendidikan anak-anak yang membuthkan cinta kasih dan kasih sayang dari kedua orang tua.

Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah salah satu pihak mau mengalah dan menahan diri demi keutuhan rumah tangga dan anak-anak yang menjadi tanggung-jawabnya dn membutuhkan perhatian dari kedua orang tuanya. Kecuali kalau belum ada anak, maka perceraian bisa dilaksanakan bila tidak disertai rasa benci dan dendam satu sama lain. Jadi harus dilaksanakan secara baik baik, dan dikembalikan kepada keluarganya secara baik-baik pula. Inilah yang dimaksudkan dengan penceraian yang sesuai dengan Dhamma.

Bagaimanakah seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu, apakah dia harus menceraikan istrinya terlebih dahulu? Tujuan menjadi Bhikkhu adalah untuk bisa memahami dan mempraktekkan Dhamma Vinaya dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan itu maka bagi seseorang yang ingin menjadi Bhikkhu harus meninggalkan rumah tangga. Ini berarti bahwa seorang bhikkhu tidak lagi berhubungan dengan istrinya. Seorang istri yang suaminya menjadi bhikkhu tidak perlu secara firmal minta surat cera, cukuplah adanya pengertian bahwa dia harus menerima untuk pisah tempat tinggal, pisah tempat tidur dan pisah meja makan, dan yang paling pentng adalah kesadarannya untuk melepaskan suaminya ari lingkungan rumah tangganya. Sebaliknya seorang bhikkhu harus siap dengan senang hati jika istrinya minta surat cerai untuk kawin lagi.

Dengan kata lain surat kawin tidaklah penting bagi seorang istri yang suaminya menjadi bhikkhu. Lagipula surat kawin dan surat cerai itu baru berlaku pada zmana peradaban modern ini. Hidup berpisah tidak berarti harus ada surat cerai. Inilah yang dikatakan bercerai sesuai dengan Dhamma.

Pada hakekatnya perselisihan atau eprtengkaran dalam keluarga yahg menjurus pada perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lain. Jika pihak lain (suami/istri) tidak bisa menuruti kehendak kita, maka jalan paling aman adalah kita sendiri yang harus mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertentangan di antara kita. Bagaimanapun juga harus dipertimbangkan bahwa perceraian akan memberikan akibat yang sangat buruk bagi perkembangan pendidikan anak yang tidak dapat lepas dari tanggung jawab orang tua..

Kesimpulan
»

Hidup membujang baik laki-laki maupun wanita tidak melanggar ketentuan dalam agama Buddha.
»

Vipassana Bhavana merupakan satu-satunya jalan yang lebih cepat yang telah diajarkan oleh Sang Buddha untuk mengubah tingkah kaku dan watak seseorang yang kurang baik menjadi lebih sabar, lebih tenang, tidak gelisah, tidak emosi, selalu waspada dengna pikiran terkendali serta bijaksana.
»

Keseimbangan lahiriah dan batiniah hanya bisa dicapai dengan latihan meditasi secara intensif, sehingga kita mampu menghadapi segala tentangan, godaan dan hambatan dalam hidup ini, sehingga kita bsia merasakan hidup ini penuh dengan ketentraman dan kebahagiaan.
»

Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus kepadaq perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan kepada pihak yang lain. Jika dalam hal ini pihak lain (suami/istri) tidak bsia menuruti kehendak kita, maka jalan yang paling aman adalah kita sendiri yang harus berani mengubah pikiran kita, sehingga tiada lagi pertengkaran di antara kita.


(Sumber: Buddhist Digest 34, p 49 –52. Alih bahasa Rianto)

Tags: agama buddha, pernikahan, suami istri

0 Comment:

Post a Comment