Saya nukilkan kisah lain tentang Ali ibn Abi Thalib. Kali ini dari buku Destiny Disrupted: A History of The World through Islamic Eyes karya Tamim Ansary, seorang sejarawan dan sastrawan dunia kelahiran Afghanistan—yang telah diindonesiakan Penerbit Zaman dengan judul Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam.
Kisah tentang keberanian, keromantisan, dan religiositas.
Dalam satu pertempuran penting pada masa-masa awal Islam, seorang pemuda menyongsong Ali dengan berapi-api, matanya tajam, kedua ujung alisnya hampir berpautan, dan tangannya mengayunkan pedang. Mereka lalu berhadap-hadapan.
“Kau tidak tahu siapa aku?!” kata Ali. “Ah, bodoh! Aku Ali! Kau tidak akan mampu mengalahkanku. Kenapa kau masih nekat?”
“Karena aku sedang jatuh cinta,” kata pemuda itu. “Dan, kekasihku berkata jika aku mampu membunuhmu, dia akan menjadi milikku sepenuhnya.”
“Tapi, jika kita berduel, kemungkinan justru aku yang akan membunuhmu.”
“Adakah yang lebih indah selain terbunuh demi cinta?!”
Ali tersentak. Penuturan si pemuda membuat hatinya luluh. Kepalanya meluruh. Ali melepas helm besinya lalu menjulurkan lehernya.
“Tebas aku di bagian ini,” kata Ali seraya menunjuk lehernya.
Barangkali hati pemuda itu penuh gejolak yang sesungguhnya tak ia pahami. Seseorang yang jatuh cinta terkadang memang enggan menggunakan pikiran panjang dan jernih. Namun, adakalanya hanya perlu sedikit hal––yang terkadang tak terpikirkan––untuk menyadarkannya.
Melihat kesediaan Ali untuk mati demi orang yang bersedia mati demi cinta, giliran hati pemuda itu terbakar dan luluh. Seolah-olah ada sesuatu yang halus yang merasuki hatinya, mengubah cintanya kepada wanita menjadi sesuatu yang lebih tinggi: cinta kepada Pencipta. Pemuda biasa yang sedang galau itu menjadi seorang sufi tecerahkan.[]
0 Comment:
Post a Comment