Dalam ajaran Buddha, mengapa tidak ada kepercayaan terhadap Tuhan maha tinggi yang menciptakan semesta?
Umat Buddha cenderung bersikap cukup realitis dalam hal ini dan tidak mempercayai mitos penciptaan seperti alam semesta muncul dari telur kosmik, atau diciptakan oleh seorang pria tua dengan jenggot putihnya yang panjang. Jadi kita senantiasa percaya bahwa semesta selalu ada.
Apabila dikatakan bahwa makhluk yang maha kuasa atau ‘perancang terpandai’ yang menciptakan semesta, maka menimbulkan pertanyaan yang sangat jelas tentang siapa yang kemudian menciptakan atau ‘merancang’ makhluk itu? Dan apabila makhluk tersebut selalu ada, lalu bukankah lebih dapat dipercayai bahwa sebaliknya semesta selalu ada?
Dalam kasus apapun, umat Buddha tentu saja tidak percaya tentang makhluk maha kuasa dan maha tahu, dengan alasan apapun, yang mengijinkan ciptaannya sendiri untuk disiksa dalam neraka untuk selama-lamanya (sementara makhluk tersebut juga diciptakan). Dan apabila makhluk maha kuasa tersebut mengetahui sebelumnya bahwa kebanyakan dari ciptaannya ditakdirkan terbakar di neraka selama-lamanya, lalu mengapa masih saja menciptakan begitu banyak penderitaan? Juga sulit bagi umat Buddha untuk percaya bahwa makhluk maha tinggi yang penuh cinta kasih dan pemaaf ternyata juga bersikap pendendam, tidak adil, tak kenal ampun dan sadis.
Buddha menasehati kita untuk tidak memperhatikan spekulasi-spekulasi demikian, berhubung spekulasi-spekulasi ini pada akhirnya tidak bermanfaat. Beliau menyampaikan cerita tentang seseorang yang tertusuk oleh panah beracun, tidak ingin mencabut panahnya sampai dia mengetahui siapa yang menembak panah tersebut, mengapa dia tertembak, dan racun jenis apa yang ada di panahnya.
Serupa halnya dengan tugas seorang dokter yang mencabuti panah beracun tersebut dan mengobati lukanya, dan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan orang tersebut yang bukan pada waktunya; merupakan peranan Buddha dalam menunjukkan pada kita cara untuk membebaskan diri kita dari penderitaan dan tidak menjawab pertanyaan spekulatif tersebut. Oleh sebab itu, Beliau berkata kita harus lebih memikirkan dan fokus terhadap apa yang penting, yakni praktek ajaran Buddha.Jadi ajaran Buddha tidak mengancam non-Buddhis dengan hukuman neraka yang selama-lamanya?
Tentu saja tidak! Ancaman tersebut mungkin saja dibutuhkan di jaman kuno untuk menjaga keberadaban manusia, dan juga dilakukan bersamaan dengan janji imbalan di surga. Pendekatan ini juga dilakukan dalam menarik orang-orang untuk bergabung dengan kelompok keyakinan tertentu, dengan ancaman hukuman yang abadi dan pahala.
Umat Buddha tidak menerima konsep tentang seorang Tuhan pencemburu yang menghukumi ciptaannya sendiri hanya karena mereka memilih keyakinan yang berbeda. Secara praktis, semua bangsa yang beradab menghormati dan menjamin kebebasan berpikir dan praktek agama, seperti yang diabadikan dalam piagam PBB (Pasal 18). Penyiksaan lebih jauh lagi, dilarang oleh semua bangsa yang beradab di muka bumi. Jadi bagaimana mungkin Tuhan tertentu yang sewajarnya menciptakan kita semua, bisa jadi kurang beradab? Maka itu, umat Buddha menemukan ancaman siksaan selama-lamanya di neraka cukup sulit untuk dipercaya.
Sebagai contoh, makhluk mana yang akan mengirimkan atau mengijinkan makhluk lainnya untuk dibakar dalam neraka yang berapi-api untuk selama lamanya? Ambillah pengorek api biasa misalnya. Nyalakan di telapak tangan anda. Dapatkah anda menahan rasa sakit hanya untuk beberapa detik saja? Dapatkah anda menyalakan pengorek api tersebut di telapak tangan seseorang hanya untuk satu menit saja dan mengamati mereka berteriak dalam kesakitan? Dapatkah anda melakukan hal itu pada seseorang untuk selama-lamanya? Kekejaman tersebut di luar bayangan kita.
Lebih jauh lagi, jika dalam kuasa anda untuk menghentikan penderitaan yang sangat dan tanpa akhir itu, tidakkah akan anda lakukan? Akankah sesuatu makhluk yang sehat dan rasional tidak melakukannya? Tidak akan pernah ada pembenaran untuk kekejaman yang tak kenal ampun untuk alasan dan keadaan apapun yang memungkinkan.
Buddha tidak pernah menggunakan ancaman apapun, atau mencoba untuk memaksa siapapun dalam menerima ajarannya. Beliau percaya dengan kebebasan berpikir. Beliau mengenali bahwa tidak semua orang dapat menerima ajarannya, dan orang-orang mengalami kemajuan secara berbeda-beda dan akan memilih jalur yang berbeda untuk diri mereka sendiri. Beliau lebih menyenangi untuk menjelaskan ajarannya dengan cara yang logis dan masuk akal, dan ingin orang-orang untuk memahami dan menyadari ajarannya untuk diri mereka sendiri tanpa rasa takut akan hukuman dari dirinya.
Ajaran Buddha bukanlah mengenai ancaman atau imbalan, tetapi mengenai pengetahuan dan pemahaman.
Albert Einstein :
“Ajaran Buddha memiliki karakteristik dari apa yang dapat diharapkan
dalam agama kosmik di masa mendatang : ia melampaui kepribadian
Tuhan, melampaui ajaran agama dan teologi; ia melingkupi kealamian
dan spiritual, dan ia berdasarkan pada pengertian religi, yang terwujud
dari pengalaman akan segala hal, yang alami dan spiritual, sebagai
kesatuan yang bermakna. Apabila ada ajaran yang dapat mengatasi
kebutuhan pengetahuan modern, maka ajaran tersebut adalah ajaran
Buddha.”
0 Comment:
Post a Comment